Sebelum berangkat ke Havana – Kuba suami sudah wanti-wanti kalau makanan di Kuba kurang enak, ‘cuma berasa garam’. Dengar ‘peringatan’ dari suami seperti itu dua koper saya isi penuh dengan makanan dan bumbu instant serta cemilan yang saya beli di Top Line, toko yang menjual bahan makanan Indonesia di New York – sebagian besar untuk oleh-oleh teman-teman di Havana -.
Saat kami transit di Toronto suami memberi ‘ peringatan’ lagi, “mumpung belum sampai Havana puas-puasin dulu deh makan enak”. Wah…saya makin penasaran…., suami yang sudah 3 kali ke Kuba saja bilang makanan di Kuba kurang enak….
Tiga malam di Havana, kami menginap di rumah teman, keluarga Sirajd Parwito. Saat baru tiba, kami disuguhi cemilan khas Kuba, sejenis enting-enting kacang serta empek-empek Palembang, “ mbak, ikan-nya saya beli dari ‘pedagang gelap’ yang datang ke rumah. Di sini ndak boleh jualan dari rumah ke rumah apalagi ke orang asing. Penjualnya pura-pura main ke rumah bawa anaknya, tapi di tas ranselnya dia bawa ikan atau udang. Kalo ketahuan dia bisa ditangkap polisi. Di pasar susah sekali cari ikan laut mesti ke supermarket untuk orang asing, itu-pun barangnya belum tentu ada”, Feria Sirajd, teman saya, menjelaskan.
Saat kami transit di Toronto suami memberi ‘ peringatan’ lagi, “mumpung belum sampai Havana puas-puasin dulu deh makan enak”. Wah…saya makin penasaran…., suami yang sudah 3 kali ke Kuba saja bilang makanan di Kuba kurang enak….
Tiga malam di Havana, kami menginap di rumah teman, keluarga Sirajd Parwito. Saat baru tiba, kami disuguhi cemilan khas Kuba, sejenis enting-enting kacang serta empek-empek Palembang, “ mbak, ikan-nya saya beli dari ‘pedagang gelap’ yang datang ke rumah. Di sini ndak boleh jualan dari rumah ke rumah apalagi ke orang asing. Penjualnya pura-pura main ke rumah bawa anaknya, tapi di tas ranselnya dia bawa ikan atau udang. Kalo ketahuan dia bisa ditangkap polisi. Di pasar susah sekali cari ikan laut mesti ke supermarket untuk orang asing, itu-pun barangnya belum tentu ada”, Feria Sirajd, teman saya, menjelaskan.
Feria juga bercerita, kalau bahan makanan di Kuba kadang susah di dapat, walaupun Kuba penghasil gula bisa selama 1 – 2 minggu gula hilang dari pasaran, begitu juga dengan garam, walaupun Kuba merupakan negara yang dikelilingi laut. “Makanya kalo di pasar lagi ada bumbu-bumbu yang biasa dipakai untuk masak masakan Indonesia, seperti bawang merah dan bawang putih, aku ngeborong, nanti di simpan buat stok. Begitu juga kalo di toko lagi ada mentega, minyak goreng, sabun atau pasta gigi kita harus cepet-cepet beli ndak usah nunggu besok karena kalo besok kita balik lagi belum tentu barangnya ada. Jadi jangan harap deh mbak di sini bisa makan masakan Indonesia dengan bumbu yang lengkap, kita mesti pinter-pinter bikin variasi makanan biar rasanya mirip-mirip masakan Indonesia’, katanya sambil menunjukkan deretan tanaman cabai, kemangi, serai dan kangkung di kebunnya.
Memang, susah sekali mendapatkan barang import – khususnya bahan makanan dan alat rumah tangga- di Kuba, karena adanya embargo ekonomi dari Amerika. Kalaupun ada umumnya barang-barang tersebut datang dari Meksiko atau Kanada, harganya pun bisa 3 kali lipat lebih mahal.
Memang, susah sekali mendapatkan barang import – khususnya bahan makanan dan alat rumah tangga- di Kuba, karena adanya embargo ekonomi dari Amerika. Kalaupun ada umumnya barang-barang tersebut datang dari Meksiko atau Kanada, harganya pun bisa 3 kali lipat lebih mahal.
Siangnya kami di ajak makan siang di restoran El Aljibe, di calle 7ma. e/24 y 26, Miramar. Tidak jauh dari Kedutaan Besar Indonesia. Kami memesan pollo asado El Aljibe, sepiring ayam ungkep yang digoreng disajikan dengan nasi putih -rasanya mirip nasi gurih-, kacang hitam (black beans), kentang goreng, salad dan pisang goreng manis. Ehm…rasanya enak juga, walaupun agak asin karena nasinya disiram kuah ayam. Segelas Malta dingin, minuman kaleng khas Kuba dari sari tebu saya coba. Rasanya enak, manis dan segar.
Restoran di Kuba umumnya dikunjungi oleh turis-turis asing dan warga Kuba yang ekonominya mapan – biasanya artis atau mereka yang mempunyai keluarga di luar negeri-, karena bagi warga Kuba makan di restoran adalah hal yang sangat mewah (gaji mereka rata-rata CUC 30,- atau +/- US$ 35,- sebulan). Dan umumnya semua obyek termasuk sektor pariwisata (restoran, hotel dll) adalah milik pemerintah.
Penjual pepaya di Mercado Agropecuario
Esoknya saya ikut belanja ke pasar tradisional Mercado Agropecuario di 42 y 19. Pasarnya mirip pasar-pasar tradisional di daerah di Indonesia. Uniknya, kita harus membeli atau membawa kantong plastik dari rumah sebelum belanja di pasar karena pedagang tidak menyediakan kantong / tas plastik.
Uang yang dipakai untuk transaksi juga lain, yaitu Peso, uang untuk rakyat Kuba.
US$ 1,- sama dengan 80 Centavos (sen) CUC (Peso Convertible) dan sama dengan +/- 26 Peso. Uang CUC khusus dipakai untuk orang asing atau digunakan untuk transaksi disektor pariwisata (termasuk restoran, toko suvenir dan hotel).
Orang asing yang akan belanja di pasar bisa menukarkan uang CUC-nya dengan mata uang peso di casa de cambio/tempat penukaran uang yang ada di seberang pasar.
Uang yang dipakai untuk transaksi juga lain, yaitu Peso, uang untuk rakyat Kuba.
US$ 1,- sama dengan 80 Centavos (sen) CUC (Peso Convertible) dan sama dengan +/- 26 Peso. Uang CUC khusus dipakai untuk orang asing atau digunakan untuk transaksi disektor pariwisata (termasuk restoran, toko suvenir dan hotel).
Orang asing yang akan belanja di pasar bisa menukarkan uang CUC-nya dengan mata uang peso di casa de cambio/tempat penukaran uang yang ada di seberang pasar.
Sedikit sekali jenis sayuran yang dijual di pasar ini, antara lain bayam Kuba (bentuk daunnya kecil oval), wortel, daun bawang, jagung, singkong dan labu siam serta buah nanas, jeruk, apukat, papaya dan pisang. Dua buah labu siam dan dua buah nanas kami beli. Saya sempatkan untuk melongok ke los daging, ternyata semua daging yang dijual adalah daging babi. Daging sapi umumnya tidak dipotong dan dijual di pasar karena diambil susunya.
Makan siang, kami ke La Bodeguita del Medio di Calle Empedrado 207, Habana Vieja. Restoran tiga lantai ini berdiri sejak 1942, sangat terkenal karena selain menyediakan masakan khas Kuba, jenis Creola, juga karena banyak artis, politisi dan orang-orang terkenal datang ke sini, antara lain Nat King Cole dan mantan Presiden kita, Gus Dur. Terlihat dari foto-foto dan tandatangan mereka yang memenuhi dinding restoran. Pengunjungpun diperbolehkan menorehkan tanda tangannya di dinding. Mitha, anak gadis saya pun tak ketinggalan menorehkan nama dan tanda tangannya.La Bodeguita del Medio, dindingnya penuh tanda tangan pengunjung
Dahulu, Ernest Hemingway juga pengunjung tetap restoran ini. Minuman ciptaan Hemingway, mojito, menjadi trade mark La Bodeguita del Medio.
Di kertas place-mat, tertulis resep mojito dalam bahasa Spanyol;
- 2 oz air jeruk nipis
- 12 buah daun mint
- 2 oz Havana Club rum
- 2 oz air soda
Memang, Kuba terkenal dengan Rum/Ron-nya, ada 4 jenis rum yang beredar di pasaran, Silver Dry (biasa digunakan untuk cocktail), Carta Blanca (rum yang berumur 3 tahun), Carta Oro (rum yang berumur lima tahun), dan Anejo (rum berumur tujuh tahun atau lebih).
Sekitar 15 menit kami menunggu mendapatkan kursi, karena restoran ini agak sempit tapi penuh dengan pengunjung yang sebagian besar turis asing.
Kami memesan ropa vieja (bhs Ind.: baju compang-camping), daging suwir yang dimasak mojo/gravy dengan saus tomat yang manis – asam, arroz blanco/nasi putih, pollo a la cacerola/ayam ungkep dan filete de pescado/ ikan file panggang. Ah…semua makanan yang kami pesan rasanya unik dan enak sekali hingga semua makanan tandas tidak tersisa dipiring….
Kami memesan ropa vieja (bhs Ind.: baju compang-camping), daging suwir yang dimasak mojo/gravy dengan saus tomat yang manis – asam, arroz blanco/nasi putih, pollo a la cacerola/ayam ungkep dan filete de pescado/ ikan file panggang. Ah…semua makanan yang kami pesan rasanya unik dan enak sekali hingga semua makanan tandas tidak tersisa dipiring….
Segelas es café con leche/es kopi dengan susu di Café el Escorial kami pilih untuk menghilangkan lemak di lidah. Café el escorial berada di Mercaderes 317 di pojok Plaza Habana Vieja, walaupun termasuk baru tetapi merupakan ‘the best caffeine infusions in the city’. Minuman andalannya adalah a daiquiri de café/kopi dengan daiquiri.
Tepat di seberang Café el Escorial terdapat Café el Floridita yang terkenal dengan shaken daiquiri dan frappe daiquiri-nya, bahkan café ini mempunyai jargon ‘birthplace of the daiquiri’. Frappe daiquiri merupakan campuran rum, gula pasir, 5 tetes maraschino, lime juice dan es batu.
Selain La Bodeguita del Medio, Floridita juga merupakan tempat favorit bagi Ernest Hemingway. Konon, dia bisa menghabiskan 13 gelas daiquiri sekali duduk di café ini. Café yang menyediakan tempat duduk di halaman terbuka ini ramai didatangi pengunjung. Mereka menikmati hidangannya diiringi oleh sekelompok pemain ‘Tres’ (Cuban guitar), maracas, guiros dan bongo. Tampak sepasang muda-mudi pengunjung café ber-salsa diiringi musik tersebut.
Agak sore kami mampir di Museo del Chocolate/museum coklat. Untuk masuk ke sini kami harus antre diluar pintu, petugas hanya memperbolehkan pengunjung masuk apabila kursi di café-nya sudah ada yang kosong. Selain bisa melihat proses pembuatan permen coklat yang dicetak aneka bentuk dari balik kaca, pengunjung juga bisa duduk di café dan memesan minuman coklat panas atau dingin. Es coklatnya ehm….enak sekali dan segar, tidak terlalu manis dengan rasa coklat yang legit. Harganya pun murah sekali, kami ber-delapan (8 gelas es susu coklat) hanya membayar CUC 5,-!. Yang unik di museum coklat ini, pekerja yang membuat coklat berpakaian seragam layaknya militer, lengkap dengan dasi dan tanda pangkat di pundaknya. Beberapa kotak coklat praline kami bawa pulang untuk oleh-oleh.
Menurut teman saya, Kuba juga terkenal dengan es krim-nya, Copelia. Karena terkenalnya, pengunjung rela antre untuk membeli. Benar saja, saat kami lewat antreannya….. panjang sekali. Konon, es krim ini terkenal karena film Strawberries and Chocolatte.
Teman saya juga mengingatkan, pilih-pilih kalau ingin mencoba makanan pinggir jalan, karena yang mereka jual (burger dan potongan pizza) biasanya berisi daging babi.
Teman saya juga mengingatkan, pilih-pilih kalau ingin mencoba makanan pinggir jalan, karena yang mereka jual (burger dan potongan pizza) biasanya berisi daging babi.
Disela-sela tur esok harinya, kami makan siang di El Palenque Restoran, bistec de palomillo/steak daging dan segelas tuKola / coca-cola Kuba saya pesan. Steak dagingnya empuk, diiris tipis melebar dan disiram kuah dengan campuran potongan jamur kancing. Dihidangkan dengan nasi putih yang rasanya mirip nasi gurih dan beberapa potong daun selada. Setelah saya rasakan, rasanya mirip daging semur tanpa kecap. Saya sempatkan juga untuk mencicipi Tropikal Island, jus dalam kemasan kotak dengan rasa guayaba/guava (jambu).
Dalam perjalanan pulang saya terheran-heran melihat seorang pria berjalan kaki membawa satu ‘kotak’ kue tart dengan warna krim yang ‘nge-jreng’, tanpa dimasukkan ke kotak hanya dialasi dengan triplek segi empat padahal saat itu sedang gerimis. Sampai di rumah, teman saya, Feria menjelaskan, “lha ya begitu di sini, karena kertas mahal dan susah didapat maka orang kalau beli makanan, makanannya ndak dimasukkan ke kotak, entah itu kena debu atau hujan ya dibiarin begitu. Malah kalau mereka bawa kue naik bis, kuenya jadi tambah satu macam warna, keabu-abuan, kena asap knalpot…”.
Malam hari sebelum pulang, kami diajak – tepatnya ditraktir- makan malam di restoran Cina di Marina Hemingway. Sup jamur, ikan goreng asam manis, lumpia dan tumis sayuran, kami pesan. Setelah pesanan keluar, ternyata tumis kacang panjang yang disajikan. Sang pelayan menjelaskan, kalau jenis masakan sayuran tergantung jenis sayuran saat ini yang tersedia di pasar. Saat ini yang ada cuma kacang panjang…..
Sambil membereskan koper karena besok pagi kami harus pulang ke New York, saya berkata pada suami, “ mas, makanan di Kuba ternyata enak-enak juga kok ndak seperti yang aku bayangkan sebelumnya…”. Suami pun balas menjawab sambil tertawa, “ ah kamu kalo ngrasain makanan komentarnya cuma ada 2, enak…sama enak sekali….”.
(Artikel ini pernah dimuat di Kompas Cyber Media)
Dalam perjalanan pulang saya terheran-heran melihat seorang pria berjalan kaki membawa satu ‘kotak’ kue tart dengan warna krim yang ‘nge-jreng’, tanpa dimasukkan ke kotak hanya dialasi dengan triplek segi empat padahal saat itu sedang gerimis. Sampai di rumah, teman saya, Feria menjelaskan, “lha ya begitu di sini, karena kertas mahal dan susah didapat maka orang kalau beli makanan, makanannya ndak dimasukkan ke kotak, entah itu kena debu atau hujan ya dibiarin begitu. Malah kalau mereka bawa kue naik bis, kuenya jadi tambah satu macam warna, keabu-abuan, kena asap knalpot…”.
Malam hari sebelum pulang, kami diajak – tepatnya ditraktir- makan malam di restoran Cina di Marina Hemingway. Sup jamur, ikan goreng asam manis, lumpia dan tumis sayuran, kami pesan. Setelah pesanan keluar, ternyata tumis kacang panjang yang disajikan. Sang pelayan menjelaskan, kalau jenis masakan sayuran tergantung jenis sayuran saat ini yang tersedia di pasar. Saat ini yang ada cuma kacang panjang…..
Sambil membereskan koper karena besok pagi kami harus pulang ke New York, saya berkata pada suami, “ mas, makanan di Kuba ternyata enak-enak juga kok ndak seperti yang aku bayangkan sebelumnya…”. Suami pun balas menjawab sambil tertawa, “ ah kamu kalo ngrasain makanan komentarnya cuma ada 2, enak…sama enak sekali….”.
(Artikel ini pernah dimuat di Kompas Cyber Media)