Thursday, November 15, 2007

Quebec, The Romantic City



Bagaikan dipeluk benteng La Citadelle, Quebec City merupakan kota jelmaan Eropa dengan bangunan-bangunan bergaya Eropa abad 18 dengan suasana yang sangat Perancis. Dengan luas 21 sq miles Quebec City berada dipinggir sungai St Lawrence. Kota ini sejak tahun 1985 ditetapkan oleh UNESCO sebagai aset dunia.
Dibagi dalam 3 bagian, Basse-Ville atau Lower Town, merupakan bagian kota tertua membentang sepanjang sungai St. Lawrence dikaki Cap Diamant. Haute-Ville atau Upper Town, daerah ini dipenuhi dengan toko-toko (dari toko souvenir, pakaian, batu permata dll) hingga restaurant. Di sini juga terdapat Catholic dan Protestant Catedral. Yang terakhir adalah Grandee Alee dengan Hotel du Parlement-nya.

Wednesday, November 7, 2007

BERWISATA KULINER DI HAVANA

Cuban dishes

Sebelum berangkat ke Havana – Kuba suami sudah wanti-wanti kalau makanan di Kuba kurang enak, ‘cuma berasa garam’. Dengar ‘peringatan’ dari suami seperti itu dua koper saya isi penuh dengan makanan dan bumbu instant serta cemilan yang saya beli di Top Line, toko yang menjual bahan makanan Indonesia di New York – sebagian besar untuk oleh-oleh teman-teman di Havana -.
Saat kami transit di Toronto suami memberi ‘ peringatan’ lagi, “mumpung belum sampai Havana puas-puasin dulu deh makan enak”. Wah…saya makin penasaran…., suami yang sudah 3 kali ke Kuba saja bilang makanan di Kuba kurang enak….

Tiga malam di Havana, kami menginap di rumah teman, keluarga Sirajd Parwito. Saat baru tiba, kami disuguhi cemilan khas Kuba, sejenis enting-enting kacang serta empek-empek Palembang, “ mbak, ikan-nya saya beli dari ‘pedagang gelap’ yang datang ke rumah. Di sini ndak boleh jualan dari rumah ke rumah apalagi ke orang asing. Penjualnya pura-pura main ke rumah bawa anaknya, tapi di tas ranselnya dia bawa ikan atau udang. Kalo ketahuan dia bisa ditangkap polisi. Di pasar susah sekali cari ikan laut mesti ke supermarket untuk orang asing, itu-pun barangnya belum tentu ada”, Feria Sirajd, teman saya, menjelaskan.

Pusat perbelanjaan di Centro Habana, tidak terawat dan ruangannya banyak yang kosong

Feria juga bercerita, kalau bahan makanan di Kuba kadang susah di dapat, walaupun Kuba penghasil gula bisa selama 1 – 2 minggu gula hilang dari pasaran, begitu juga dengan garam, walaupun Kuba merupakan negara yang dikelilingi laut. “Makanya kalo di pasar lagi ada bumbu-bumbu yang biasa dipakai untuk masak masakan Indonesia, seperti bawang merah dan bawang putih, aku ngeborong, nanti di simpan buat stok. Begitu juga kalo di toko lagi ada mentega, minyak goreng, sabun atau pasta gigi kita harus cepet-cepet beli ndak usah nunggu besok karena kalo besok kita balik lagi belum tentu barangnya ada. Jadi jangan harap deh mbak di sini bisa makan masakan Indonesia dengan bumbu yang lengkap, kita mesti pinter-pinter bikin variasi makanan biar rasanya mirip-mirip masakan Indonesia’, katanya sambil menunjukkan deretan tanaman cabai, kemangi, serai dan kangkung di kebunnya.

Memang, susah sekali mendapatkan barang import – khususnya bahan makanan dan alat rumah tangga- di Kuba, karena adanya embargo ekonomi dari Amerika. Kalaupun ada umumnya barang-barang tersebut datang dari Meksiko atau Kanada, harganya pun bisa 3 kali lipat lebih mahal.

Pollo Asado El Aljibe

Siangnya kami di ajak makan siang di restoran El Aljibe, di calle 7ma. e/24 y 26, Miramar. Tidak jauh dari Kedutaan Besar Indonesia. Kami memesan pollo asado El Aljibe, sepiring ayam ungkep yang digoreng disajikan dengan nasi putih -rasanya mirip nasi gurih-, kacang hitam (black beans), kentang goreng, salad dan pisang goreng manis. Ehm…rasanya enak juga, walaupun agak asin karena nasinya disiram kuah ayam. Segelas Malta dingin, minuman kaleng khas Kuba dari sari tebu saya coba. Rasanya enak, manis dan segar.
Restoran di Kuba umumnya dikunjungi oleh turis-turis asing dan warga Kuba yang ekonominya mapan – biasanya artis atau mereka yang mempunyai keluarga di luar negeri-, karena bagi warga Kuba makan di restoran adalah hal yang sangat mewah (gaji mereka rata-rata CUC 30,- atau +/- US$ 35,- sebulan). Dan umumnya semua obyek termasuk sektor pariwisata (restoran, hotel dll) adalah milik pemerintah.

Penjual pepaya di Mercado Agropecuario

Esoknya saya ikut belanja ke pasar tradisional Mercado Agropecuario di 42 y 19. Pasarnya mirip pasar-pasar tradisional di daerah di Indonesia. Uniknya, kita harus membeli atau membawa kantong plastik dari rumah sebelum belanja di pasar karena pedagang tidak menyediakan kantong / tas plastik.
Uang yang dipakai untuk transaksi juga lain, yaitu Peso, uang untuk rakyat Kuba.
US$ 1,- sama dengan 80 Centavos (sen) CUC (Peso Convertible) dan sama dengan +/- 26 Peso. Uang CUC khusus dipakai untuk orang asing atau digunakan untuk transaksi disektor pariwisata (termasuk restoran, toko suvenir dan hotel).
Orang asing yang akan belanja di pasar bisa menukarkan uang CUC-nya dengan mata uang peso di casa de cambio/tempat penukaran uang yang ada di seberang pasar.

Suasana pasar

Sedikit sekali jenis sayuran yang dijual di pasar ini, antara lain bayam Kuba (bentuk daunnya kecil oval), wortel, daun bawang, jagung, singkong dan labu siam serta buah nanas, jeruk, apukat, papaya dan pisang. Dua buah labu siam dan dua buah nanas kami beli. Saya sempatkan untuk melongok ke los daging, ternyata semua daging yang dijual adalah daging babi. Daging sapi umumnya tidak dipotong dan dijual di pasar karena diambil susunya.

La Bodeguita del Medio, dindingnya penuh tanda tangan pengunjung
Makan siang, kami ke La Bodeguita del Medio di Calle Empedrado 207, Habana Vieja. Restoran tiga lantai ini berdiri sejak 1942, sangat terkenal karena selain menyediakan masakan khas Kuba, jenis Creola, juga karena banyak artis, politisi dan orang-orang terkenal datang ke sini, antara lain Nat King Cole dan mantan Presiden kita, Gus Dur. Terlihat dari foto-foto dan tandatangan mereka yang memenuhi dinding restoran. Pengunjungpun diperbolehkan menorehkan tanda tangannya di dinding. Mitha, anak gadis saya pun tak ketinggalan menorehkan nama dan tanda tangannya.
Dahulu, Ernest Hemingway juga pengunjung tetap restoran ini. Minuman ciptaan Hemingway, mojito, menjadi trade mark La Bodeguita del Medio.
Di kertas place-mat, tertulis resep mojito dalam bahasa Spanyol;
- gula pasir
- 2 oz air jeruk nipis
- 12 buah daun mint
- 2 oz Havana Club rum
- 2 oz air soda

Memang, Kuba terkenal dengan Rum/Ron-nya, ada 4 jenis rum yang beredar di pasaran, Silver Dry (biasa digunakan untuk cocktail), Carta Blanca (rum yang berumur 3 tahun), Carta Oro (rum yang berumur lima tahun), dan Anejo (rum berumur tujuh tahun atau lebih).

Ropa Vieja

Sekitar 15 menit kami menunggu mendapatkan kursi, karena restoran ini agak sempit tapi penuh dengan pengunjung yang sebagian besar turis asing.
Kami memesan ropa vieja (bhs Ind.: baju compang-camping), daging suwir yang dimasak mojo/gravy dengan saus tomat yang manis – asam, arroz blanco/nasi putih, pollo a la cacerola/ayam ungkep dan filete de pescado/ ikan file panggang. Ah…semua makanan yang kami pesan rasanya unik dan enak sekali hingga semua makanan tandas tidak tersisa dipiring….
Alat penyeduh kopi kuno di Cafe el Escorial

Segelas es café con leche/es kopi dengan susu di Café el Escorial kami pilih untuk menghilangkan lemak di lidah. Café el escorial berada di Mercaderes 317 di pojok Plaza Habana Vieja, walaupun termasuk baru tetapi merupakan ‘the best caffeine infusions in the city’. Minuman andalannya adalah a daiquiri de café/kopi dengan daiquiri.

Di depan Cafe el Floridita

Tepat di seberang Café el Escorial terdapat Café el Floridita yang terkenal dengan shaken daiquiri dan frappe daiquiri-nya, bahkan café ini mempunyai jargon ‘birthplace of the daiquiri’. Frappe daiquiri merupakan campuran rum, gula pasir, 5 tetes maraschino, lime juice dan es batu.
Tabung-tabung untuk membuat daiquiri di Cafe el Floridita

Selain La Bodeguita del Medio, Floridita juga merupakan tempat favorit bagi Ernest Hemingway. Konon, dia bisa menghabiskan 13 gelas daiquiri sekali duduk di café ini. Café yang menyediakan tempat duduk di halaman terbuka ini ramai didatangi pengunjung. Mereka menikmati hidangannya diiringi oleh sekelompok pemain ‘Tres’ (Cuban guitar), maracas, guiros dan bongo. Tampak sepasang muda-mudi pengunjung café ber-salsa diiringi musik tersebut.

'Sang tentara' sedang membuat adonan coklat di Museo del Chocolate

Cetakan-cetakan coklat

Agak sore kami mampir di Museo del Chocolate/museum coklat. Untuk masuk ke sini kami harus antre diluar pintu, petugas hanya memperbolehkan pengunjung masuk apabila kursi di café-nya sudah ada yang kosong. Selain bisa melihat proses pembuatan permen coklat yang dicetak aneka bentuk dari balik kaca, pengunjung juga bisa duduk di café dan memesan minuman coklat panas atau dingin. Es coklatnya ehm….enak sekali dan segar, tidak terlalu manis dengan rasa coklat yang legit. Harganya pun murah sekali, kami ber-delapan (8 gelas es susu coklat) hanya membayar CUC 5,-!. Yang unik di museum coklat ini, pekerja yang membuat coklat berpakaian seragam layaknya militer, lengkap dengan dasi dan tanda pangkat di pundaknya. Beberapa kotak coklat praline kami bawa pulang untuk oleh-oleh.

Es susu coklat dan praline

Menurut teman saya, Kuba juga terkenal dengan es krim-nya, Copelia. Karena terkenalnya, pengunjung rela antre untuk membeli. Benar saja, saat kami lewat antreannya….. panjang sekali. Konon, es krim ini terkenal karena film Strawberries and Chocolatte.
Teman saya juga mengingatkan, pilih-pilih kalau ingin mencoba makanan pinggir jalan, karena yang mereka jual (burger dan potongan pizza) biasanya berisi daging babi.

tuKola, coca-cola ala Kuba dan Malta, minuman sari tebu

Disela-sela tur esok harinya, kami makan siang di El Palenque Restoran, bistec de palomillo/steak daging dan segelas tuKola / coca-cola Kuba saya pesan. Steak dagingnya empuk, diiris tipis melebar dan disiram kuah dengan campuran potongan jamur kancing. Dihidangkan dengan nasi putih yang rasanya mirip nasi gurih dan beberapa potong daun selada. Setelah saya rasakan, rasanya mirip daging semur tanpa kecap. Saya sempatkan juga untuk mencicipi Tropikal Island, jus dalam kemasan kotak dengan rasa guayaba/guava (jambu).

Dalam perjalanan pulang saya terheran-heran melihat seorang pria berjalan kaki membawa satu ‘kotak’ kue tart dengan warna krim yang ‘nge-jreng’, tanpa dimasukkan ke kotak hanya dialasi dengan triplek segi empat padahal saat itu sedang gerimis. Sampai di rumah, teman saya, Feria menjelaskan, “lha ya begitu di sini, karena kertas mahal dan susah didapat maka orang kalau beli makanan, makanannya ndak dimasukkan ke kotak, entah itu kena debu atau hujan ya dibiarin begitu. Malah kalau mereka bawa kue naik bis, kuenya jadi tambah satu macam warna, keabu-abuan, kena asap knalpot…”.

Malam hari sebelum pulang, kami diajak – tepatnya ditraktir- makan malam di restoran Cina di Marina Hemingway. Sup jamur, ikan goreng asam manis, lumpia dan tumis sayuran, kami pesan. Setelah pesanan keluar, ternyata tumis kacang panjang yang disajikan. Sang pelayan menjelaskan, kalau jenis masakan sayuran tergantung jenis sayuran saat ini yang tersedia di pasar. Saat ini yang ada cuma kacang panjang…..

Sambil membereskan koper karena besok pagi kami harus pulang ke New York, saya berkata pada suami, “ mas, makanan di Kuba ternyata enak-enak juga kok ndak seperti yang aku bayangkan sebelumnya…”. Suami pun balas menjawab sambil tertawa, “ ah kamu kalo ngrasain makanan komentarnya cuma ada 2, enak…sama enak sekali….”.

(Artikel ini pernah dimuat di Kompas Cyber Media)

BERTEMU ‘FIDEL CASTRO’ DI HABANA VIEJA

Kota Havana dilihat dari benteng Morro

Lega rasanya setelah pesawat Air Canada yang membawa kami bertiga ke Havana – Kuba dari New York akhirnya tinggal landas. Betapa tidak sudah 2 kali kami gagal berangkat ke Havana, pertama, karena ada keperluan keluarga yang mendadak dan kedua karena kekonyolan kami lupa membuat Visa Kanada satu hari sebelum berangkat, karena memang harus transit di Toronto, Kanada dulu.

Ternyata kelegaan kami belum berakhir. Sampai di Pearson International Airport - Toronto kami harus berlari-lari memburu waktu karena waktu transit hanya 3 jam sedangkan kami harus antre diimigrasi untuk masuk Kanada, mengambil kopor lalu bergegas sambil membawa kopor check-in lagi untuk penerbangan Toronto – Havana, dan antre lagi diimigrasi untuk keluar Kanada. Sungguh melelahkan. Ini terjadi karena Amerika tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Kuba maka siapa pun yang akan ke Kuba dari wilayah Amerika harus lewat negara ketiga.

Di Jose Marti International Airport - Havana

Di dalam pesawat Air Canada tujuan Toronto - Havana, saya lihat cukup banyak turis Amerika. Sebenarnya, illegal bagi pemegang paspor Amerika untuk berkunjung ke Kuba. Kecuali bagi misionaris, jurnalis atau mahasiswa yang mendapat rekomendasi dari universitasnya, itupun harus memperoleh semacam licence dari pemerintah Amerika, dan mereka masuk ke Kuba lewat Miami- Amerika. Sedangkan para turis yang ‘illegal’ ini memilih masuk ke Kuba lewat negara ketiga seperti Meksiko (Cancun) atau Kanada (Toronto), seperti kami.
Sebelum pesawat mendarat, selain form-form keimigrasian, awak pesawat juga membagikan form biru yang ternyata adalah Visa Kuba. Kami baru tahu kalau Visa Kuba bisa diperoleh di dalam pesawat, karena kami mendapatkannya dari Perwakilan Kuba di Washington D.C, lembaran kertas Visa ini hanya diselipkan, tidak ditempel di dalam paspor. Sang Pramugari juga menjelaskan, untuk mendapatkan Visa Kuba cukup membayar CUC 20 (+/- US$ 25,-) setiba di imigrasi Jose Marti International Airport Havana.

Kami sekeluarga memang berangan-angan suatu saat bisa berkunjung ke negara ini, walaupun kali ini adalah kali ketiga suami berkunjung ke Havana, pertama bagi saya dan anak gadis kami, Mitha. Suami ingin kami bisa melihat Havana karena menurutnya Kuba adalah negara yang sangat unik, tidak ada duanya di dunia ini. “Mumpung sekarang tinggal di New York jadi ndak terlalu jauh perjalanannya dan mumpung Fidel Castro masih hidup, mungkin kalau sudah tidak ada Castro, Kuba tidak akan seperti ini lagi”, kata suami.

Pusat kota Havana

Kuba, dengan ibu kotanya Havana adalah negara kepulauan yang terletak antara laut Karibia, Teluk Meksiko dan Samudra Atlantik (lihat di http://en.wikipedia.org/cuba). Panjang sekali sejarah yang pernah dilalui Kuba hingga sekarang menjadi Negara Sosialis dengan presiden-nya, Fidel Castro. Kota Havana / Ciudad de La Habana (lihat di http://en.wikipedia.org/havana) sendiri terletak dipinggir laut dan dikelilingi oleh semacam tembok dan merupakan salah satu kota tertua yang pernah ditemukan dan disinggahi bangsa Eropa. Peninggalan-peninggalan Eropa khususnya Spanyol kental sekali terlihat hampir di semua bangunan di Havana. Bangunan-bangunan bergaya baroque dengan lengkungan dan pilar-pilarnya yang besar dan kokoh, ukiran yang cantik dengan sentuhan Moorish (sentuhan Islam dalam arsitektur Spanyol) dengan warna terang kuning – biru – putih berpadu dengan neo-klasik abad 19 hingga bangunan-bangunan ‘model baru’ awal abad 20 terlihat hampir disegala penjuru Havana. Dari rumah tinggal, perkantoran, pertokoan hingga hotel. Sayang sekali sejak embargo ekonomi yang diterapkan Amerika, Havana seakan bagai ‘kota dengan bangunan yang mati’. Bagaimana tidak, hampir semua bangunan tidak terawat, seakan-akan sudah puluhan tahun tidak tersentuh cat. Bahkan banyak pula bangunan yang tanpa kaca jendela. Kecuali bangunan-bangunan yang dipakai oleh instansi pemerintah atau yang disewa oleh kedutaan asing. Memang semua bangunan dan aset yang ada adalah milik pemerintah.


Kota Havana sendiri, dibagi dalam 3 bagian, Habana Vieja/Old Havana, Vedado (daerah komersial) dan daerah baru seperti Miramar, tempat kedutaan-kedutaan asing, rumah tinggal warga asing, toko-toko barang import dan sekolah-sekolah internasional berada.

Bersama gadis Kuba di Habana Vieja

Tiga malam di Havana, hari pertama, kami diantar Feria Siradj, teman kami yang sudah 1 tahun tinggal di Havana berkeliling melihat kota Havana di sore hari. Di sepanjang jalan yang kami lewati banyak warga yang berdiri dipinggir jalan untuk botea, mencari tumpangan kendaraan. Karena sulitnya transportasi tidak heran kalau botea adalah hal yang wajar di sini. Bahkan warga yang mempunyai mobil wajib dan harus mau memberi tumpangan.
Hingga saat ini kendaraan di Havana masih didominasi oleh mobil-mobil keluaran Amerika jaman dahulu seperti sedan Cadillac tahun 1950-an, Bel Air, Fords, Chevy dan Fiat meskipun beberapa mobil Jepang dan Eropa keluaran terbaru juga mulai terlihat di jalan. Saya membatin, wah….pasti para penggemar mobil vintage di Indonesia akan senang sekali melihat mobil-mobil antik di Havana…. Sebagian dari mobil-mobil kuno ini ada juga yang dipercantik untuk taksi, selain ada coco-taxi (sejenis bemo tapi berbentuk bulat) bis kota dan camello, bus panjang berbentuk seperti onta dengan ‘kepala’ truk..

Coco-taxi

Dari daerah Miramar tempat kami menginap di rumah Feria, kami menuju Malecon, promenade sepanjang +/- 7 km yang menghadap laut lepas ini ramai dipenuhi muda-mudi yang akan melewatkan malam minggunya. Tidak peduli mereka berkulit putih (keturunan Spanyol), kulit hitam (keturunan Afrika dari budak-budak perkebunan tebu abad 18) dan mullata (campuran kulit putih dan hitam). Hampir semua wanita-nya berpakaian minim, dengan atasan tank-top atau you-can-see. Mungkin karena udara yang panas atau minim dan mahalnya harga kain, batin saya. “Walaupun mereka kelihatan hidup bebas, di sini hampir tidak ada kasus kekerasan dan pemerkosaan. Di sini polisi ada di mana-mana jadi kita aman kemana pun pergi”, kata teman saya.

Feria juga menjelaskan, di Kuba memang sedikit sekali hiburan. Ada beberapa gedung bioskop tapi film-film yang diputar adalah film-film lama, kalaupun film Amerika itupun sudah disensor. Televisi-pun hanya ada 4 channel yang seluruhnya milik pemerintah Kuba, isinya-pun propaganda Kuba yang anti Amerika. “Jangan harap melihat iklan di TV yang bersifat konsumtif di sini mbak”, kata Feria. “Klub-klub malam pun biasanya hanya dikunjungi oleh warga asing atau warga Kuba yang diajak oleh orang asing atau warga Kuba yang mempunyai saudara yang datang dari luar negeri”, kata Feria lagi. Rakyat biasa tidak mampu datang ketempat-tempat seperti itu, karena rata-rata gaji mereka perbulan hanya CUC 30,- atau setara US$ 35,-. Sedangkan kebutuhan hidup mereka yang lain sudah di jatah oleh pemerintah Kuba. Mereka bekerja ataupun tidak, mendapat jatah yang sama. O….pantas, batin saya dalam hati, sepintas masyarakatnya terlihat santai dalam menjalani hidup.

Sebagian bangunan dengan ukiran indah yang tidak terawat di Obispo

Memang, ada rasa trenyuh, melihat kehidupan masyarakat di sini. Mereka terkesan nrimo walaupun seperti terasing dari dunia luar. Mereka tidak bisa bepergian ke luar negeri, karena sulit sekali bagi warga biasa untuk mendapatkan ijin ke luar negeri kecuali bagi atlet yang berprestasi, artis atau pejabat negara. Hal ini dijelaskan oleh Bertha pemandu kami nantinya. Walaupun begitu, kata Bertha mereka sangat loyal kepada Fidel Castro, karena Castro sangat kharismatik. Dari Bertha saya tahu kalau sebagian besar rakyat Kuba lebih senang disebut Fidelis daripada Komunis.

Dari Malecon kami menuju NH Hotel di Centro Habana untuk booking tour-guide esok hari dan ke casa de cambio/tempat penukaran uang. Di Kuba berlaku 2 mata uang. Peso untuk transaksi sehari-hari rakyat Kuba dan CUC (Cuban Convertible) untuk warga dan turis asing serta berlaku untuk transaksi di semua sektor pariwisata. US$1,- = 0,8 Centavos (sen) CUC = 26,- Peso. Semua mata uang asing terutama dolar dan euro yang ditukarkan di tempat penukaran uang dicatat satu-persatu nomor serinya oleh petugas.

Sebelum pulang kami singgah di hotel Nacional. Hotel ini sangat indah seakan-akan berada di atas bukit. Dari belakang hotel kita bisa melihat pemandangan Malecon, hamparan laut lepas dan Castillo del Morro dengan jajaran bentengnya. Satu tahun yang lalu dalam rangka 14th Summit of the Non-Aligned Movement, Presiden SBY dan rombongan juga menginap di hotel ini. Selain itu juga pernah dipakai untuk shooting film Dirty Dancing.
Saat itu di hall hotel Nacional sedang berlangsung pesta pernikahan. Kata Feria, rakyat Kuba hanya bisa satu kali dalam seumur hidupnya bisa masuk ke hotel dan menginap sehari hanya pada saat pesta pernikahannya. Itupun sebagai hadiah dari pemerintah. Hotel-nya pun yang menetapkan pemerintah. Hanya orang asing/turis, pejabat dan pegawai hotel yang diperbolehkan masuk dan menikmati fasilitas hotel.

Di depan Catedral de San Cristobal

Esoknya, tur yang sesungguhnya dimulai, dipandu oleh Bertha dari Cubatur. Habana Vieja / Old Havana tujuan kami. Habana Vieja sejak tahun 1992 merupakan aset dunia yang dilindungi UNESCO. Di Old Havana terdapat katedral, mansion-mansion kuno yang dibangun abad 16 – 17, café-café terkenal seperti La Bodeguita del Medio dan La Floridita serta museum-museum. Di bawah bangunan-bangunan ini terdapat Zanja Real, kanal yang dibangun Spanyol pada abad 16. Dari Plaza de la Catedral – lapangan terbuka - yang luas kita bisa melihat Catedral de San Cristobal – gereja yang berornamen baroque - , Palacio de los Marqueses yang sekarang berfungsi sebagai art galeri dan Museo de Art Colonial.

Arsitektur Spanish - Moorish

Berjalan kebelakang melewati lorong-lorong kuno yang agak sempit, kami sampai di Plaza de Armaz. Di sini suasana kolonial jaman dahulu sangat terasa bahkan besi bekas menambatkan kereta kuda pada jaman dahulu-pun masih ada.
Dari atas hotel Palacio Cueto kami bisa melihat Habana Vieja. Bangunan hotel abad 17 ini penuh dengan ornamen Spanyol dan Moorish dengan lengkungan pilar, kubah dan cat warna biru terang dan putih. Indah sekali.

Jejeran keramik majorica berisi rempah-rempah di Sala Museo

Bertha lalu mengajak kami masuk ke Sala Museo (museum obat-obatan). Bau rempah-rempah dan deretan stoples keramik majorica yang cantik berjajar rapi di rak kayu berwarna coklat yang menempel dinding menyambut kami.

Hotel Ambos Mundos

Dari sini, kami berjalan kaki ke hotel Ambos Mundos, hotel tempat Hemingway pernah lama menginap (tahun 1932 – 1939). Keluar dari hotel kami sungguh terkejut. Seorang pria tua yang mirip sekali Fidel Castro duduk ditangga luar hotel. Rasanya saya pernah melihat pria berjenggot putih ini….tapi dimana…?. Tidak mungkin kalo dia benar-benar Castro. Setelah mengingat-ingat…a ha….ternyata pria ini yang menjadi sampul buku “Cuba” terbitan Lonely Planet yang saya lihat di toko buku Barnes & Nobles di New York. Selembar CUC 1,- diselipkan ke tangan mr. ‘Castro’ setelah kami ajak photo bersama.

Gedung Capitolio

Puas berkeliling Habana Vieja, kami diajak berkeliling Centro Habana dan Prado. Yang merupakan pusat kota Havana. Gedung Capitolio dengan kubahnya yang besar dan megah langsung menjadi pusat perhatian kami. Gedung ini tiruan dari gedung Capitol di Washington D.C., bentuknya mirip bahkan sedikit lebih tinggi dan lebih panjang dari Capitol di Washington.
Tidak jauh dari gedung Capitolio terdapat Fabrica de Tabaco Partagas, pabrik cerutu/puros. Kuba sangat terkenal dengan produksi cerutunya. Berdiri sejak tahun 1845 setiap tahun 5 juta batang cerutu diproduksi oleh Partagas. Ada 32 merek cerutu Kuba, tapi hanya 4 yang terkenal, Montecristo, Cohiba, Cuaba dan Vegas Robaina.

Prado

Dari Centro Habana kami menuju Prado, boulevard cantik yang diteduhi oleh pohon-pohon besar dan 8 ekor patung singa dari marmer dan deretan lampu-lampu jalan yang terbuat dari besi yang diukir cantik. Ah…..rasanya sungguh nyaman berada ditempat ini. Sayang kami terlalu sore sampai ditempat ini, sehingga tidak bisa ikut menikmati dan melihat jajaran lukisan-lukisan yang dijual di sepanjang Prado.

Necropolis Colon dengan Chapel utamanya

Necropolis Colon, tujuan kami selanjutnya. Makam monumental ini sangat luas, sekitar 55 hektar. Hamparan makam ini bagaikan miniatur mausoleum, chapel, kastil bahkan piramid dengan ukiran-ukiran berbentuk bunga, malaikat, bidadari yang indah dan terbuat dari marmer. Komplek makam yang diarsitek-i oleh Calixto de Loira pada pertengahan tahun 1800 ini mengelilingi chapel utama. Pintu gerbangnya yang megah dihiasi dengan patung malaikat dari marmer bergaya neo-romantic yang menggambarkan ‘faith, hope and charity’ yang dibuat oleh pematung Kuba Jose Villalta de Saavendra . Di makam ini bersemayam pula pahlawan-pahlawan perang saat penyerbuan istana presiden Batista di tahun 1957. Salah satu makam yang terkenal adalah La Milagrosa (The Miraculous One), dimana Amelia Goyri de la Hoz meninggal saat melahirkan bayinya pada tahun 1901. Dia dimakamkan bersama sang bayi yang diletakkan di bawah kakinya. Ajaib, saat makam dibuka beberapa tahun kemudian, si bayi berada di dalam pelukan ibunya. Hingga saat ini makam Amelia sering dikunjungi oleh perempuan-perempuan yang mendambakan anak maupun yang sedang hamil. Saat kami ke sana, makamnya penuh dengan karangan bunga dari pengunjung. Saat meninggalkan makam kami diharuskan membunyikan lempengan besi yang terdapat di atas makam dan berjalan mundur, dilarang membelakangi makam.

Finca La Vigia, rumah Ernest Hemingway

Esok harinya, diantar Eko, warga Indonesia yang sudah 10 tahun tinggal di Havana, kami ke Finca La Vigia yang terletak agak diluar kota Havana, sekitar 45 menit perjalanan. Dalam perjalanan kami melewati Parque Almendares, Havana’s “Forest” yang dipenuhi oleh tanaman-tanaman tropikal. Untuk masuk ke Finca La Vigia kami dikenai tiket CUC 3,- sedangkan Eko, karena sudah termasuk warga Kuba hanya membayar 10 Peso. Museum yang merupakan bekas rumah Hemingway ini berada di atas bukit yang dkelilingi dengan tanaman-tanaman tropis dan deretan pohon palem dan kelapa. Terasa teduh. Di sela-sela perjalanannya keliling Amerika, Afrika dan Eropa, Hemingway menghabiskan hampir 20 tahun dalam hidupnya di rumah ini. Deretan buku-buku kuno, hiasan-hiasan kepala rusa Afrika, mesin ketik tua, lukisan, sepatu boot, baju, pipa cerutu, deretan gelas-gelas cocktail dan foto-fotonya tertata rapi dalam museum ini. Di samping bangunan terdapat tower dengan satu ruangan menghadap pemandangan kota Havana tempat Hemingway merenung mencari inspirasi untuk tulisannya. Sayang, pengunjung dilarang masuk ke semua ruangan, hanya dapat melihat dan memotret dari luar. Di depan rumah terdapat pula kolam renang (airnya sengaja dikeringkan), makam kucing dan anjing piaraan Hemingway (selama hidupnya Hemingway punya 60 ekor kucing!) dan Pilar, kapal yang dipakainya untuk memancing.

Berpose di atas Pilar, kapal milik Ernest Hemingway

Dalam perjalanan pulang, kami mampir di Castillo del Morro/The Morro Castle (dibangun abad 16) yang dikelilingi benteng dan terletak diseberang kota Havana. Dari sini kita bisa melihat pemandangan kota Havana. Di dalam benteng terdapat museum, barak dan cannon yang diletakkan mengelilingi benteng. Cannon-cannon ini dulu dipakai untuk pertahanan terhadap serangan bajak laut dan perompak. Sebelum meninggalkan Morro saya sempatkan membeli souvenir patung sepasang laki-laki dan perempuan dari kayu dengan Cuban style lengkap dengan cerutu, tongkat dan payungnya.

Patung Cristo de la Habana dilihat dari Habana Vieja

Tidak jauh dari Morro Castle berdiri patung Cristo de la Habana, patung Kristus setinggi 18 meter yang terbuat dari marmer putih. Patung ini dibuat oleh pematung Kuba Jilma Madera ditahun 1958 atas inisiatif Martha, istri presiden Batista saat revolusi. Dari kota Havana, Cristo de la Habana ini terlihat sangat jelas.

Memorial Jose Marti

Ah…akhirnya tinggal satu lagi tujuan wisata kami, Memorial Jose Marti, terletak di tengah Plaza de la Revolucion, dibangun pada tahun 1953 untuk memperingati 100 tahun pahlawan nasional Kuba, Jose Marti. Monumen setinggi 109 meter ini terbuat dari marmer abu-abu. Di kaki monumen terdapat patung Jose Marti setinggi 18 meter yang sedang duduk. Dengan membayar CUC 5,- pengunjung bisa masuk ke dalam monumen yang di dalamnya terdapat museum tentang sejarah kepahlawanan Jose Marti.

Tropicana open air cabaret

Ada pameo mengatakan, tak lengkap rasanya bila ke Havana tak melihat Cuban Salsa dan Cabaret maka kami sempatkan malam harinya ke Tropicana. Panggung terbuka yang berada ditengah taman dengan gemiricik air dan penari-penari berkostum minim dengan hiasan-hiasan bulu-bulu yang mewah seakan membius kami selama 2 jam dengan hentakan musik dan gerakan tari dari son ke bolero dari danzon ke salsa…… Puas melihat cabaret kami masih dioleh-olehi 2 botol Cuban Ron/Rum gratis.

Dengan kekhawatiran karena wilayah kepulauan Karibia dan Bahamas serta sebagian Kuba sedang terkena hurricane Noel, kami kembali ke New York dengan pesawat Air Canada. Kembali berlari-lari mengejar waktu transit yang sempit di Toronto, karena ritual keimigrasian seperti waktu berangkat terjadi lagi. Bedanya sekarang kami masuk imigrasi Amerika dari Toronto airport. Ada rasa deg-deg-an saat petugas imigrasi Amerika menanyakan perjalanan kami. Dengan ragu-ragu kami menjawab ‘Kuba’. Alhamdulillah…sang petugas diam saja. Mungkin karena melihat paspor kami dari Indonesia bukan Amerika.

Tak terasa tiga malam di Kuba telah berlalu….benar kata suami, “ Kuba adalah negara dengan peradaban yang unik”. Kultur dan sejarah yang kompleks, tradisi lama bercampur geliat peradaban baru, kebudayaan yang penuh warna bercampur masalah sosial ekonomi…..

(Artikel ini pernah dimuat di Kompas Community Cyber Media)

Thursday, October 18, 2007

Menari


Menari, adalah suatu hal yang tidak asing lagi. Sejak kecil bapak-ibu sudah mendorong kami, 4 orang anaknya untuk belajar menari, terutama tari jawa. Dari sejak TK, lalu selama usia sekolah dasar dan menengah , bapak mendatangkan guru les privat tari Jawa gaya Surakarta untuk mengajar kami di rumah.
Beberapa jenis tarian kami pelajari, diantaranya tari dasar seperti Golek, Bondan, Gambyong kemudian tari laki-laki alusan Gambiranom, Bambangan Cakil hingga tari gagahan Menakjinggo Dayun, Klono, Klono Topeng sampai tari kreasi baru Merak, Satria dll. Tak ketinggalan tari Jawa Timur, Ngremo dan Jejer Banyuwangi.

Gerakan tari Jawa, untuk seorang wanita, cenderung halus, mengalir, langkahnya kecil-kecil, sangat feminin dan pantang mengangkat tangan. Berbeda dengan gerakan tari laki-laki yang dibawakan seorang wanita, biarpun gagah tapi terkesan feminin dengan gerakannya yang halus.
Selain melatih olah tubuh, berlatih tari, berarti berlatih kesabaran juga. Gerakan harus sesuai dengan nada gending gamelan, berati kita harus peka juga dengan nada musik gamelan agar sesuai dengan gerakan tari.


Rasanya tidak-lah cukup hanya mengenal tari klasik Jawa. Untuk pergaulan perlu juga mengenal jenis-jenis tari pergaulan Barat, apalagi kami sekarang tinggal di New York. Itulah sebabnya kami sekeluarga sekarang mencoba untuk belajar salsa, cha-cha, swing, jive, rumba, tango dan waltz di Fred Astaire Dance Studio Manhattan.
Awalnya saya dan suami ikut menemani Mitha, anak kami, belajar menari agar dia punya satu ketrampilan tari dan melatih percaya dirinya. Ternyata belajar ballroomdance sangat menyenangkan. Sekarang, bukan hanya Mitha, kami orang tua-nya pun sudah jatuh hati dengan jenis tarian ini.

Tidak ada ruginya kita belajar menari, bahkan banyak sekali manfaatnya untuk diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Belajar untuk tampil di depan orang banyak dan belajar percaya diri. Dan percaya atau tidak..., sebagai obat penghilang stress.....

Bila ingat saat awal belajar menari, saya ingat almarhum Bapak. Terimakasih pak, telah memberikan bekal, kesempatan dan mendorong kami untuk belajar menari. Warisan yang tidak akan hilang......

Tuesday, October 16, 2007

My Family

(Mas Hari,Mitha, and me) - New York, Idul Fitri 2007

"....harta yang paling berharga adalah keluarga,
istana yang paling indah adalah keluarga,
puisi yang paling bermakna adalah keluarga,
mutiara tiada tara adalah keluarga..."

(soundtrack sinetron Keluarga Cemara)


F A M I L Y
(NN)

I ran into a stranger as he passed by,
"Oh excuse me please" was my reply

He said, "Please excuse me too;
I wasn't watching you".

We were very polite, this stranger and I.
We went on our way and we said goodbye.

But at home a different story is told,
How we treat our loved ones, young and old.

Later that day, cooking the evening meal,
My son stood beside me very still.

When I turned, I nearly knocked him down.
"Move out of the way," I said with a frown.

He walked away, his little heart broken.
I didn't realize how harshly I'd spoken.

While I lay awake in bed,
God's still small voice came to me and said,

"While dealing with a stranger,
common courtesy you use,
but the family you love, you seem to abuse.

Go and look on the kitchen floor,
You'll find some flowers there by door.

Those are the flowers he brought for you.
He picked them himself; pink, yellow and blue.

He stood very quietly not to spoil the surprise,
You never saw the tears that filled his little eyes".

By this time, I felt very small,
And now my tears began to fall.

I quietly went and knelt by his bed;
"Wake up little one, wake up," I said.

"Are these the flowers you picked for me?'.
He smiled, "I found 'em, especially the blue".

I said, "Son, I'm very sorry for the way I acted today;
I shouldn't have yelled at you that way".

He said, "Oh, Mom, that's okay.
I love you anyway".

I said, "Son, I love you too,
and I do like the flowers, especially the blue".

F A M I L Y
Are you aware that if we died tomorrow, the company
that we are working for could easily replace us in a matter of days.
But the family we left behind will feel the loss
for the rest of their lives.

And come to think of it, we pour ourselves more
into work than into our own family,
an unwise investment indeed,
don't you think?
So what is behind the story?

Do you know what the word FAMILY means?
FAMILY = (F)ATHER (A)ND (M)OTHER (I) (L)OVE (Y)OU...



Monday, October 15, 2007

Bouquet Hantaran Lebaran



Idul Fitri tahun 2007 ini aku bikin parcel lebaran, sponge cake dengan hiasan fondant bouquet mawar kuning dihiasi 2 ketupat dari fondant juga.

Fondant Bouquet:

Bahan :
(semua serba kira-kira, ndak pakai takaran :)
- fondant
- pewarna kue/fondant kuning, ungu, orange, hijau.
- sedikit (kira2 setengah sdt) gum-tex
- clear vanilla (liquid)
- tusuk gigi
- buttercream icing
- cake (butter cake/sponge cake)
- Plastik cellophane

Cara :
2 hari sebelumnya buat bunga mawar fondant. Campur fondant dengan gum-tex. Beri pewarna kuning. Ambil sedikit adonan, bentuk bulat seperti air mata (untuk putik-nya) tancapkan ditusuk gigi. Buat 11 buah.
Giling tipis fondant, cetak dengan rose/blossom cutter ukuran paling besar. Taruh di foam tipis. Potong sedikit tiap petalnya (ada 5 petal). Pipihkan ujungnya dengan ball-tool dan oleskan sedikit vanilla clear ditengahnya. Pindahkan ke foam tebal, tekan tengahnya dengan ball-tool.
Tancapkan (dari bawah) ke putik yang sudah jadi. Tekuk pelan2 ke atas mulai dari ujung atas, samping, bawah sampai membentuk kuntum mawar.
Buat satu lagi untuk ukuran 'medium' mawar (sama caranya).
Kemudian buat satu lagi untuk kuntum terluar. Cara hampir sama, hanya saat ditaruh di foam tebal, balikkan petalnya dan tekan tengahnya dengan ball-tool.
Biarkan bunga mawar kering (tancapkan di sterofoam)

Daun, giling fondant warna hijau. Cetak dengan cutter daun. Taruh di foam tipis, dengan veining-tool buat goresan menyerupai tulang daun. Buat 50 buah daun. Biarkan kering.

Bunga iris, ambil fondant ungu (ukuran kira2 sebesar kacang), giling bulat memanjang. Tekuk bagi 2. Pipihkan ujung-ujungnya dengan ujung ibu jari. beri bulatan kecil fondant orange untuk putiknya (tempel dengan sedikit air). Buat kira2 10 buah. Biarkan kering.

Ambil cake, belah tengahnya dan isi dengan filling buttercream/jam. Potong sisinya hingga berbentuk segi panjang. Potong ujung 2 sisi dibawahnya, dan potong miring tengah di antara 2 ujung sisi tadi. Olesi buttercream hingga rata.
Giling fondant putih. Taruh dan tutupi seluruh permukaan kue dengan fondant. Haluskan dengan bantuan Smoother. Potong sisa-sisa fondant dan rapikan (sisi bawah bentuk seperti 3 gelombang, tahan dengan ujung spatula hingga kering)

Susun bunga mawar, iris dan daun mulai dari atas ke bawah. Spuitkan buttercream hijau panjang tipis sebagai tangkainya di bagian bawah (sepanjang bentuk gelombang). Letakkan dan atur plastik cellophane disekeliling bouquet.
Hias dengan pita kain atau pita dari fondant. Sebagai sentuhan lebaran, hias dengan fondant yang telah dibentuk seperti ketupat.

Monday, October 8, 2007

Daysi Chain


Ini fondant cake hasil kursus cake decorating class di Wilton.
Bunga2 daysi-nya dari gum paste yang ditempel di cake yang sudah diiced pakai fondant.
Rangkaian bunga daysi dan daunnya ditempel di kawat bunga pakai lem dari candy wafers yang dilelehkan.
Setelah jadi semua baru dirangkai dan ditancapkan di cake yang sudah diberi flower spike.

Friday, October 5, 2007

My First Tiered Cake


Ini tiered cake-ku yang pertama.
Masih belum bagus sih...tapi lumayanlah buat pemula....
Bunga mawar-nya dari rolled fondant, cake-nya aku pake sponge cake yang di-cover pake rolled fondant.




Bareng teman-teman wilton cake decorating class (Alicia/US, Irina/Indonesia, Aura/Puertorico, Grace/Puertorico, Ramdanie/Jamaica) dan instruktur dari wilton - miss Loren (yang pake kaos wonder).

Wednesday, August 15, 2007

Jalan-jalan di Greenwich dan East Village, New York

Sudah lama sebenarnya kami bertiga, Veni, Kiky dan saya ingin meyusuri jalan-jalan dan mengenal lebih dekat kota New York. Walaupun kami tinggal di New York hampir 4 tahun dan sering sekali melewati jalan-jalan tersebut, tetapi hanya sekedar lewat dan menoleh bila ada toko yang menarik perhatian kami.

Dengan berbekal peta dan buku panduan serta baju `siap tempur`, sepatu keds, tas ransel berisi sebotol air mineral, permen, kamera, syal dan jaket -saat itu awal musim dingin di New York, walaupun belum terlalu dingin tetapi anginnya membuat telinga sakit juga- kami bertemu di pintu masuk Subway Austin.

Tujuan pertama kami Greenwich Village. Greenwich Village dikenal sebagai daerah yang cantik dan unik. Tempat tinggal para artis dan penulis antara lain Dustin Hoffman. Dengan kereta E kami keluar di West 4th Street dengan Washington Square.

Setelah berjalan 2 blok kami berhenti di Jefferson Market Courthouse yang dikenal dengan nama `Old Jeff`. Gedung bekas pasar dan pengadilan ini diberi nama mantan Presiden Amerika, Thomas Jefferson. Di menaranya terdapat bel raksasa yang dahulu dibunyikan sebagai tanda untuk berkumpul para petugas pemadam kebakaran di daerah tersebut. Segala aktifitas tersebut dihentikan sejak tahun 1945. Terletak di ujung jalan Avenue of America, bangunan indah bergaya Gothic ini sekarang berfungsi sebagai perpustakaan umum.

Setelah puas memotret dan saling dipotret kami berjalan ke Christopher Street, sebuah restoran Asia menggelitik kami untuk mampir, di kertas menu yang dipajang di pintu restoran tertulis `bakmi goreng`. Wah tertarik juga...tetapi setangkup bagel dengan cream cheese sarapan tadi pagi masih membuat perut saya kenyang.

Kami teruskan berjalan satu blok dari Old Jeff dan berhenti di Gay Street. Gay Street sangat pendek, melengkung sekitar 50 meter menyambung dengan Christopher Street. Konon Gay Street telah memberi inspirasi beberapa seniman dan penulis seperti film Carlito`s Way. Daerah ini merupakan bagian dari komunitas gay di New York. Gedung-gedungnya sepertinya berfungsi sebagai apartemen dengan cat tembok warna mencolok, seperti merah tua, biru tua dan kuning. Di jalan ini terdapat toko-toko kecil -termasuk `sex shop`-, butik, toko buku, bar dan kafe.
Kami masuk ke sebuah toko mainan anak-anak, kebetulan salah satu teman kami anaknya akan berulang tahun. Tidak seperti toko mainan pada umumnya, mainan-mainan yang dijual di sini sangat edukatif dan sepertinya buatan tangan. Pilihan saya jatuh pada satu kotak berisi beberapa potong kain flanel warna-warni yang apabila digabung-gabungkan akan menjadi sebuah selimut cantik.

Menyeberang Christopher Street kami berhenti di Sheridan Square. Sebuah taman kecil yang dihiasi patung Jenderal Philip Sheridan, Komandan Perang Sipil Amerika di tahun 1883. Tidak jauh dari patung itu terdapat patung dua orang perempuan yang sedang duduk mesra, melambangkan sepasang gay sebagai simbol komunitas daerah tersebut. Selain kami bertiga, empat orang wanita paruh baya terlihat sibuk saling memotret.
Jalan-jalan di Greenwich Village tidak terlalu lebar tetapi nyaman untuk pejalan kaki. Selagi kami menengok kanan-kiri mengagumi bangunan-bangunan di Bedford Street dan berpose didepan Twin Peaks, sebuah rumah yang unik dengan atapnya yang melengkung, seorang gadis pejalan kaki menyapa kami menanyakan apa yang membuat kami tertarik. Setelah kami jelaskan ternyata dia pun tidak mengetahui apabila Twin Peaks merupakan bangunan bersejarah yang dibangun tahun 1830 tempat berkumpulnya artis dan penulis di tahun 1920-an. Padahal gadis tersebut tinggal di daerah itu!.

Tidak jauh dari Twin Peaks terdapat Grove Court, 6 buah rumah indah yang saling berdempetan, dibangun sekitar tahun 1850-an. Agak sulit juga kami menemukannya karena ternyata bangunannya menjorok ke dalam dengan halaman yang luas dan hanya terdapat satu pintu gerbang kecil untuk masuk ke kompleks tersebut. Sayang sekali, kami datang ke sini saat musim dingin, pasti saat musim semi Grove Court akan sangat cantik dengan taman bunganya yang warni-warni.
Selanjutnya kami menuju Bedfort Street, di ujung jalan Bedford berdiri sebuah rumah yang terkenal paling sempit, No. 75 1/2 Bedford street, lebarnya hanya 2,9 meter! Konon aktor Cary Grant pernah tinggal di sini.
Tak terasa hari sudah mulai siang, perut pun sudah mulai terasa lapar. Tapi masih ada satu tempat menarik lagi yang ingin kami lihat. St. Luke`s Place. Terletak hanya satu blok dari Bedford Street, St. Luke Place adalah deretan 15 bangunan `town house`. Diantaranya milik Mayor Jimmy Walker, salah satu Walikota New York di tahun 1926. Rumah sang Walikota berada di no. 6 ditandai dengan sebuah lampu taman yang berdiri di depan pintu dekat tangga rumah. Konon pula rumah-rumah walikota di New York ditandai dengan adanya lampu ini. Rumah no.10 adalah rumah tempat keluarga Huxtable di film Cosby Show. Film kegemaran kami dulu. Seorang nenek kami mintai tolong untuk memotret kami dengan latar belakang rumah keluarga Huxtable...

Kami sepakat untuk makan siang di daerah East Village, meskipun saat makan siang sudah hampir lewat. Walaupun jaraknya tidak terlalu jauh, karena kaki sudah mulai penat kami memutuskan untuk naik taxi ke East Village. East Village terkenal dengan landmark-nya Alamo, patung setinggi 4,5 meter berbentuk kubus yang terbuat dari besi. Alamo terletak ditengah-tengah persimpangan jalan antara Lafayette Street - Stuyvesant street - Astor Place dan Fourth Avenue. Di ujung Astor Place berdiri Gedung Astor Place Opera House, konon opera Hamlet pernah dipentaskan di sini.
Menyeberang ke Third Avenue dan berbelok di St. Marks kami menemukan deretan toko-toko kecil yang sangat unik dan funky, tampaknya seperti tempat komunitas kaum hippies. Deretan toko-toko yang menawarkan jasa tatoo, toko-toko vintage, tenda-tenda di emperen toko yang menjual syal warna warni, topi, dan sarung tangan dari India. Kami berhenti di Je`bon Restaurant, sebuah restoran Asia. Ternyata 2 pelayannya dari Indonesia, salah satunya bernama Novi. Semangkuk Mie Kuah Tom Yam -Mie yang diberi kuah sup tom yam sea food-, Nasi Goreng -dengan taburan telor dadar iris, kacang goreng dan teri serta sambel dan kecap ABC, benar-benar rasa Indonesia!-, sepiring Phat Thai Udang serta segelas Thai Iced Tea membuat kami kenyang... Novi menerangkan kalau juru masaknya berasal dari Malaysia dan pernah tinggal beberapa tahun di Indonesia. Pantas, rasa masakannya pas sekali dengan lidah kami...

Setelah istirahat sebentar meluruskan kaki yang sudah mulai pegal-pegal, kami melanjutkan berjalan menyeberangi Second Avenue. Toko kue Viniero yang berada di 11th street tujuan kami. Toko Viniero terkenal dengan cheese cake-nya yang sangat lembut dan enak. Dua potong cheese cake dengan toping stawberry dan blueberry serta 2 cup tiramisu menjadi pilihan saya untuk oleh-oleh suami dan anak di rumah.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 3.30 sore, sambil berjalan menuju subway di Astor Place kami sempatkan untuk lewat di Little Ukraine yang terletak di 7th Street dengan Third Avenue. Di sini tinggal lebih kurang 3000 keluarga yang berasal dari Ukrainia. Sebuah Gereja Katholik megah, St. George`s Ukrainian Catholic Chuch berada di lokasi ini.
Tepat di depan gereja berderet toko-toko kecil yang menjual pernak-pernik kerajinan khas Ukrainia. Kami tertarik dengan sebuah bar dideretan toko-toko tersebut yang mempunyai arsitektur kuno dan antik. Ternyata bar tersebut, McSorley`s Old Ale House, adalah bar tua yang berdiri sejak tahun 1854.

Satu lagi tempat unik di New York telah kami kunjungi. Ternyata tempat-tempat kecil yang tampaknya tidak terlalu terkenal menarik juga untuk dilihat dan didatangi. Di dalam kereta kami ber-tiga sudah merancang, lain waktu akan berjalan-jalan di bagian lain New York yang unik, Gramercy dan the Flatiron District.

(Pernah dimuat di Kompas Cyber Media)

Tuesday, August 14, 2007

Nicaragua, The Volcanoes Country


Berada di Nikaragua seolah berada dalam mesin waktu yang kembali dan berhenti di masa lalu. Begitu banyak keunikan dan keeksotikan di negara Amerika Tengah tersebut. Bangunan-bangunan kuno dengan sentuhan Spanyol, warna-warni kerajinan tangan, makanan, bentuk fisik masyarakatnya yang khas Indian (disebut Ameridian : Amerika-Indian) serta `temple-temple`nya yang menakjubkan.
Managua
Berkunjung ke Managua, ibukota Nikaragua, mengingatkan kita pada kota kabupaten di Indonesia yang sedang membangun.
Setelah redanya konflik politik dengan rezim Sandinista yang berlangsung bertahun-tahun, negara ini mulai berkembang dan dimana-mana tampak pembangunan prasarana fisik yang sedang digiatkan. Yang menarik, rumah-rumah penduduknya, baik jendela maupun pintu, semua berterali besi, hal ini menunjukkan bahwa kota ini belum relatif aman.
Konon, menurut Omar -pemandu kami selama di Nikaragua- mobil-mobil di negara ini (termasuk yang dijual di showroom) adalah mobil bekas yang berasal dari Amerika. Angkutan umumnya pun bekas bis sekolah, sumbangan dari Amerika.
Kami menginap di Intercontinental hotel, satu-satunya hotel besar di Managua, didepannya terdapat shopping mall paling modern, Metrocentro Mall yang mirip dengan Bintaro Plaza di Jakarta. La Colonia dan La Union adalah dua supermarket besar di kota tersebut. Kami sempatkan untuk singgah di pasar tradisional, Mercado Central (Pasar Sentral) bernama Mercado Roberto Huembes, disini dijual berbagai macam barang kebutuhan sehari-hari, sayuran, buah, bunga dan barang kerajinan -yang khas adalah perhiasan dari batu koral hitam-.
Saat masuk kami agak terkejut, tidak seperti tampak dari luar, di dalamya relatif bersih dengan kios-kios yang berjajar rapi. Seperti di Indonesia, belanja di sini kita juga harus pandai menawar. Saya membeli satu kalung black corall untuk oleh-oleh dengan harga US$ 13,- ternyata Mitha, anak saya, dengan harga US$ 10,-mendapat barang yang mirip bentuknya! Apabila kita tidak membawa mata uang setempat (Cordoba, 1 US$ = 16 Cordoba) mereka pun menerima apabila kita membayar dengan dollar Amerika .
Satu pengalaman menarik saat saya diantar Halet, istri Omar, menukarkan uang di penukaran uang. Kami seperti masuk ke dalam penjara! Ruangannya dikelilingi terali besi dan dijaga dua orang tentara bersenjata laras panjang! Ngeri juga saya .....
Puas menjelajah di pasar tradisional, kami menuju Plaza de la Revolucion, tempat bersejarah di mana semua kegiatan politik dahulu dilakukan ditempat ini. Di kompleks ini terdapat Catedral de Santiago, yang hancur karena gempa bumi di tahun 1972 dan Palacio Nacional de la Cultura (museum Nasional) serta Ruben Dario National Library. Di seberang museum berdiri istana Presiden Enrique Bolanos yang baru saja dibangun.
Omar menerangkan, sayang sekali kami berkunjung ke Nikaragua kurang tepat musimnya, karena tidak ada festival di bulan September ini, tetapi termasuk beruntung karena di bulan Mei - Nopember (musim hujan) banyak hotel yang memberi tarif `miring`. Menurutnya, saat paling tepat apabila kita berkunjung ke Nikaragua adalah antara bulan Desember - April saat musim panas. Ada 2 festival besar yang dirayakan, the `Festival de Musica y Juventud` (The Music and Youth Festival) di bulan Pebruari dan `Fiestas Agostinas` di bulan Agustus. Sedangkan saat Holly Week di akhir Maret sampai awal April merupakan pesta makanan dan kerajinan tangan bagi rakyat Managua.
Puas berjalan-jalan dan menyusuri kota Managua, belum pas rasanya kalau belum mencicipi makanan khasnya. Makanan Nikaragua kaya akan rasa dan cocok untuk lidah orang Indonesia. Mereka banyak mengonsumsi pisang, singkong, keju dan kacang merah.
Pisang digoreng seperti keripik pisang di Indonesia, gurih dan renyah. Singkong pun digoreng merekah, enak sekali. `Gallo pinto`, merupakan campuran kacang merah, nasi dan keju yang disajikan di atas tungku dan wajan kecil dari tanah liat. Kami sempat mencicipinya saat makan siang di restoran Dona Haydee. Bila berkunjung ke sana jangan lupa memesan sop buntut di campur umbi-umbian. Kuah sup yang gurih - bening, potongan butut sapi yang empuk dicampur manisnya potongan labu dan singkong.... hm...sangat lezat..!.
Malam hari nanti kami berencana makan malam di Tip-top, restaurant ayam (Pollo, baca; po-yo) goreng khas Nikaragua. Ternyata setelah kami merasakannya, rasa dan bentuknya mirip ayam goreng cepat saji Amerika, KFC!.



Masaya
Berjarak hanya +/- 16 mil dari Managua, kota ini terkenal akan kerajinan tangannya. Di Mercado de Artesanias (pasar seni) yang bernama San Juan de Oriente dijual berbegai macam kerajinan khas Nikaragua seperti, kerajinan kayu, gerabah, kulit, lukisan dan sulaman. Saya tergelitik untuk membeli ayunan dari benang warna-warni, tetapi membayangkan membawanya nanti di pesawat pasti akan merepotkan, akhirnya pilihan saya jatuh pada sebuah apron (saya perhatikan hampir semua pedagang di pasar memakai apron ini) yang disulam dengan benang warna-warni dengan motif yang khas Indian.



Dari Masaya kami meneruskan perjalanan ke Granada yang merupakan kota kolonial tertua di Nikaragua yang dibangun pada tahun 1524. Terletak dipinggir danau Nikaragua dan dekat gunung api Mombacho. Tiga kota terbesar di negara ini, Managua, Masaya dan Granada dibangun di atas `bayang-bayang` gunung berapi (ada 9 gunung api) yang sampai saat ini masih aktif.
Granada sangat romantik, dengan bangunan-bangunan klasiknya yang penuh warna. Pusat kegiatannya berada di Parque Central/Parque Colon, di sekitar tempat ini terdapat Parroqui Inmaculada Concepcion de Marcia Catedral de Granada yang megah dan Casa de los Tres Mundos- Pusat kebudayaan di Granada-.
Diiringi langit yang mendung, dengan naik kereta kuda - mirip andong di Yogya- kami berkeliling kota menyusuri jalan utama La Calzada dan Xalteva sambil mengagumi keindahan arsitektur rumah-rumah bergaya neo-klasik dan baroq yang berwarna terakota.
Kalau diamati hampir semua rumah di sini mempunyai kursi goyang, uniknya mereka tidak hanya punya satu bahkan empat kursi goyang yang diletakkan di teras atau ruang tamu!
Mereka tampaknya amat suka `mencari angin` dan mengobrol diteras rumah sambil duduk di kursi goyang. Sayang, saya lupa untuk bertanya lebih jauh tentang gaya hidup mereka ini kepada Omar, pemandu kami.
Selagi kami asyik ber`andong ria` tiba-tiba hujan turun sangat deras, memaksa kami untuk berteduh sambil mampir untuk makan malam di La Gran Francia Restaurant, restoran masakan Perancis dengan sentuhan Nikaragua, salah satu bangunan peninggalan kolonial Spanyol (dibangun tahun 1524) yang telah direkonstruksi.
Besok pagi, satu perjalanan lagi menanti kami,tak sabar rasanya untuk melihat peninggalan suku Maya di Guatemala!.

(Pernah dimuat di Kompas Cyber Media)