Wednesday, August 15, 2007

Jalan-jalan di Greenwich dan East Village, New York

Sudah lama sebenarnya kami bertiga, Veni, Kiky dan saya ingin meyusuri jalan-jalan dan mengenal lebih dekat kota New York. Walaupun kami tinggal di New York hampir 4 tahun dan sering sekali melewati jalan-jalan tersebut, tetapi hanya sekedar lewat dan menoleh bila ada toko yang menarik perhatian kami.

Dengan berbekal peta dan buku panduan serta baju `siap tempur`, sepatu keds, tas ransel berisi sebotol air mineral, permen, kamera, syal dan jaket -saat itu awal musim dingin di New York, walaupun belum terlalu dingin tetapi anginnya membuat telinga sakit juga- kami bertemu di pintu masuk Subway Austin.

Tujuan pertama kami Greenwich Village. Greenwich Village dikenal sebagai daerah yang cantik dan unik. Tempat tinggal para artis dan penulis antara lain Dustin Hoffman. Dengan kereta E kami keluar di West 4th Street dengan Washington Square.

Setelah berjalan 2 blok kami berhenti di Jefferson Market Courthouse yang dikenal dengan nama `Old Jeff`. Gedung bekas pasar dan pengadilan ini diberi nama mantan Presiden Amerika, Thomas Jefferson. Di menaranya terdapat bel raksasa yang dahulu dibunyikan sebagai tanda untuk berkumpul para petugas pemadam kebakaran di daerah tersebut. Segala aktifitas tersebut dihentikan sejak tahun 1945. Terletak di ujung jalan Avenue of America, bangunan indah bergaya Gothic ini sekarang berfungsi sebagai perpustakaan umum.

Setelah puas memotret dan saling dipotret kami berjalan ke Christopher Street, sebuah restoran Asia menggelitik kami untuk mampir, di kertas menu yang dipajang di pintu restoran tertulis `bakmi goreng`. Wah tertarik juga...tetapi setangkup bagel dengan cream cheese sarapan tadi pagi masih membuat perut saya kenyang.

Kami teruskan berjalan satu blok dari Old Jeff dan berhenti di Gay Street. Gay Street sangat pendek, melengkung sekitar 50 meter menyambung dengan Christopher Street. Konon Gay Street telah memberi inspirasi beberapa seniman dan penulis seperti film Carlito`s Way. Daerah ini merupakan bagian dari komunitas gay di New York. Gedung-gedungnya sepertinya berfungsi sebagai apartemen dengan cat tembok warna mencolok, seperti merah tua, biru tua dan kuning. Di jalan ini terdapat toko-toko kecil -termasuk `sex shop`-, butik, toko buku, bar dan kafe.
Kami masuk ke sebuah toko mainan anak-anak, kebetulan salah satu teman kami anaknya akan berulang tahun. Tidak seperti toko mainan pada umumnya, mainan-mainan yang dijual di sini sangat edukatif dan sepertinya buatan tangan. Pilihan saya jatuh pada satu kotak berisi beberapa potong kain flanel warna-warni yang apabila digabung-gabungkan akan menjadi sebuah selimut cantik.

Menyeberang Christopher Street kami berhenti di Sheridan Square. Sebuah taman kecil yang dihiasi patung Jenderal Philip Sheridan, Komandan Perang Sipil Amerika di tahun 1883. Tidak jauh dari patung itu terdapat patung dua orang perempuan yang sedang duduk mesra, melambangkan sepasang gay sebagai simbol komunitas daerah tersebut. Selain kami bertiga, empat orang wanita paruh baya terlihat sibuk saling memotret.
Jalan-jalan di Greenwich Village tidak terlalu lebar tetapi nyaman untuk pejalan kaki. Selagi kami menengok kanan-kiri mengagumi bangunan-bangunan di Bedford Street dan berpose didepan Twin Peaks, sebuah rumah yang unik dengan atapnya yang melengkung, seorang gadis pejalan kaki menyapa kami menanyakan apa yang membuat kami tertarik. Setelah kami jelaskan ternyata dia pun tidak mengetahui apabila Twin Peaks merupakan bangunan bersejarah yang dibangun tahun 1830 tempat berkumpulnya artis dan penulis di tahun 1920-an. Padahal gadis tersebut tinggal di daerah itu!.

Tidak jauh dari Twin Peaks terdapat Grove Court, 6 buah rumah indah yang saling berdempetan, dibangun sekitar tahun 1850-an. Agak sulit juga kami menemukannya karena ternyata bangunannya menjorok ke dalam dengan halaman yang luas dan hanya terdapat satu pintu gerbang kecil untuk masuk ke kompleks tersebut. Sayang sekali, kami datang ke sini saat musim dingin, pasti saat musim semi Grove Court akan sangat cantik dengan taman bunganya yang warni-warni.
Selanjutnya kami menuju Bedfort Street, di ujung jalan Bedford berdiri sebuah rumah yang terkenal paling sempit, No. 75 1/2 Bedford street, lebarnya hanya 2,9 meter! Konon aktor Cary Grant pernah tinggal di sini.
Tak terasa hari sudah mulai siang, perut pun sudah mulai terasa lapar. Tapi masih ada satu tempat menarik lagi yang ingin kami lihat. St. Luke`s Place. Terletak hanya satu blok dari Bedford Street, St. Luke Place adalah deretan 15 bangunan `town house`. Diantaranya milik Mayor Jimmy Walker, salah satu Walikota New York di tahun 1926. Rumah sang Walikota berada di no. 6 ditandai dengan sebuah lampu taman yang berdiri di depan pintu dekat tangga rumah. Konon pula rumah-rumah walikota di New York ditandai dengan adanya lampu ini. Rumah no.10 adalah rumah tempat keluarga Huxtable di film Cosby Show. Film kegemaran kami dulu. Seorang nenek kami mintai tolong untuk memotret kami dengan latar belakang rumah keluarga Huxtable...

Kami sepakat untuk makan siang di daerah East Village, meskipun saat makan siang sudah hampir lewat. Walaupun jaraknya tidak terlalu jauh, karena kaki sudah mulai penat kami memutuskan untuk naik taxi ke East Village. East Village terkenal dengan landmark-nya Alamo, patung setinggi 4,5 meter berbentuk kubus yang terbuat dari besi. Alamo terletak ditengah-tengah persimpangan jalan antara Lafayette Street - Stuyvesant street - Astor Place dan Fourth Avenue. Di ujung Astor Place berdiri Gedung Astor Place Opera House, konon opera Hamlet pernah dipentaskan di sini.
Menyeberang ke Third Avenue dan berbelok di St. Marks kami menemukan deretan toko-toko kecil yang sangat unik dan funky, tampaknya seperti tempat komunitas kaum hippies. Deretan toko-toko yang menawarkan jasa tatoo, toko-toko vintage, tenda-tenda di emperen toko yang menjual syal warna warni, topi, dan sarung tangan dari India. Kami berhenti di Je`bon Restaurant, sebuah restoran Asia. Ternyata 2 pelayannya dari Indonesia, salah satunya bernama Novi. Semangkuk Mie Kuah Tom Yam -Mie yang diberi kuah sup tom yam sea food-, Nasi Goreng -dengan taburan telor dadar iris, kacang goreng dan teri serta sambel dan kecap ABC, benar-benar rasa Indonesia!-, sepiring Phat Thai Udang serta segelas Thai Iced Tea membuat kami kenyang... Novi menerangkan kalau juru masaknya berasal dari Malaysia dan pernah tinggal beberapa tahun di Indonesia. Pantas, rasa masakannya pas sekali dengan lidah kami...

Setelah istirahat sebentar meluruskan kaki yang sudah mulai pegal-pegal, kami melanjutkan berjalan menyeberangi Second Avenue. Toko kue Viniero yang berada di 11th street tujuan kami. Toko Viniero terkenal dengan cheese cake-nya yang sangat lembut dan enak. Dua potong cheese cake dengan toping stawberry dan blueberry serta 2 cup tiramisu menjadi pilihan saya untuk oleh-oleh suami dan anak di rumah.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 3.30 sore, sambil berjalan menuju subway di Astor Place kami sempatkan untuk lewat di Little Ukraine yang terletak di 7th Street dengan Third Avenue. Di sini tinggal lebih kurang 3000 keluarga yang berasal dari Ukrainia. Sebuah Gereja Katholik megah, St. George`s Ukrainian Catholic Chuch berada di lokasi ini.
Tepat di depan gereja berderet toko-toko kecil yang menjual pernak-pernik kerajinan khas Ukrainia. Kami tertarik dengan sebuah bar dideretan toko-toko tersebut yang mempunyai arsitektur kuno dan antik. Ternyata bar tersebut, McSorley`s Old Ale House, adalah bar tua yang berdiri sejak tahun 1854.

Satu lagi tempat unik di New York telah kami kunjungi. Ternyata tempat-tempat kecil yang tampaknya tidak terlalu terkenal menarik juga untuk dilihat dan didatangi. Di dalam kereta kami ber-tiga sudah merancang, lain waktu akan berjalan-jalan di bagian lain New York yang unik, Gramercy dan the Flatiron District.

(Pernah dimuat di Kompas Cyber Media)

Tuesday, August 14, 2007

Nicaragua, The Volcanoes Country


Berada di Nikaragua seolah berada dalam mesin waktu yang kembali dan berhenti di masa lalu. Begitu banyak keunikan dan keeksotikan di negara Amerika Tengah tersebut. Bangunan-bangunan kuno dengan sentuhan Spanyol, warna-warni kerajinan tangan, makanan, bentuk fisik masyarakatnya yang khas Indian (disebut Ameridian : Amerika-Indian) serta `temple-temple`nya yang menakjubkan.
Managua
Berkunjung ke Managua, ibukota Nikaragua, mengingatkan kita pada kota kabupaten di Indonesia yang sedang membangun.
Setelah redanya konflik politik dengan rezim Sandinista yang berlangsung bertahun-tahun, negara ini mulai berkembang dan dimana-mana tampak pembangunan prasarana fisik yang sedang digiatkan. Yang menarik, rumah-rumah penduduknya, baik jendela maupun pintu, semua berterali besi, hal ini menunjukkan bahwa kota ini belum relatif aman.
Konon, menurut Omar -pemandu kami selama di Nikaragua- mobil-mobil di negara ini (termasuk yang dijual di showroom) adalah mobil bekas yang berasal dari Amerika. Angkutan umumnya pun bekas bis sekolah, sumbangan dari Amerika.
Kami menginap di Intercontinental hotel, satu-satunya hotel besar di Managua, didepannya terdapat shopping mall paling modern, Metrocentro Mall yang mirip dengan Bintaro Plaza di Jakarta. La Colonia dan La Union adalah dua supermarket besar di kota tersebut. Kami sempatkan untuk singgah di pasar tradisional, Mercado Central (Pasar Sentral) bernama Mercado Roberto Huembes, disini dijual berbagai macam barang kebutuhan sehari-hari, sayuran, buah, bunga dan barang kerajinan -yang khas adalah perhiasan dari batu koral hitam-.
Saat masuk kami agak terkejut, tidak seperti tampak dari luar, di dalamya relatif bersih dengan kios-kios yang berjajar rapi. Seperti di Indonesia, belanja di sini kita juga harus pandai menawar. Saya membeli satu kalung black corall untuk oleh-oleh dengan harga US$ 13,- ternyata Mitha, anak saya, dengan harga US$ 10,-mendapat barang yang mirip bentuknya! Apabila kita tidak membawa mata uang setempat (Cordoba, 1 US$ = 16 Cordoba) mereka pun menerima apabila kita membayar dengan dollar Amerika .
Satu pengalaman menarik saat saya diantar Halet, istri Omar, menukarkan uang di penukaran uang. Kami seperti masuk ke dalam penjara! Ruangannya dikelilingi terali besi dan dijaga dua orang tentara bersenjata laras panjang! Ngeri juga saya .....
Puas menjelajah di pasar tradisional, kami menuju Plaza de la Revolucion, tempat bersejarah di mana semua kegiatan politik dahulu dilakukan ditempat ini. Di kompleks ini terdapat Catedral de Santiago, yang hancur karena gempa bumi di tahun 1972 dan Palacio Nacional de la Cultura (museum Nasional) serta Ruben Dario National Library. Di seberang museum berdiri istana Presiden Enrique Bolanos yang baru saja dibangun.
Omar menerangkan, sayang sekali kami berkunjung ke Nikaragua kurang tepat musimnya, karena tidak ada festival di bulan September ini, tetapi termasuk beruntung karena di bulan Mei - Nopember (musim hujan) banyak hotel yang memberi tarif `miring`. Menurutnya, saat paling tepat apabila kita berkunjung ke Nikaragua adalah antara bulan Desember - April saat musim panas. Ada 2 festival besar yang dirayakan, the `Festival de Musica y Juventud` (The Music and Youth Festival) di bulan Pebruari dan `Fiestas Agostinas` di bulan Agustus. Sedangkan saat Holly Week di akhir Maret sampai awal April merupakan pesta makanan dan kerajinan tangan bagi rakyat Managua.
Puas berjalan-jalan dan menyusuri kota Managua, belum pas rasanya kalau belum mencicipi makanan khasnya. Makanan Nikaragua kaya akan rasa dan cocok untuk lidah orang Indonesia. Mereka banyak mengonsumsi pisang, singkong, keju dan kacang merah.
Pisang digoreng seperti keripik pisang di Indonesia, gurih dan renyah. Singkong pun digoreng merekah, enak sekali. `Gallo pinto`, merupakan campuran kacang merah, nasi dan keju yang disajikan di atas tungku dan wajan kecil dari tanah liat. Kami sempat mencicipinya saat makan siang di restoran Dona Haydee. Bila berkunjung ke sana jangan lupa memesan sop buntut di campur umbi-umbian. Kuah sup yang gurih - bening, potongan butut sapi yang empuk dicampur manisnya potongan labu dan singkong.... hm...sangat lezat..!.
Malam hari nanti kami berencana makan malam di Tip-top, restaurant ayam (Pollo, baca; po-yo) goreng khas Nikaragua. Ternyata setelah kami merasakannya, rasa dan bentuknya mirip ayam goreng cepat saji Amerika, KFC!.



Masaya
Berjarak hanya +/- 16 mil dari Managua, kota ini terkenal akan kerajinan tangannya. Di Mercado de Artesanias (pasar seni) yang bernama San Juan de Oriente dijual berbegai macam kerajinan khas Nikaragua seperti, kerajinan kayu, gerabah, kulit, lukisan dan sulaman. Saya tergelitik untuk membeli ayunan dari benang warna-warni, tetapi membayangkan membawanya nanti di pesawat pasti akan merepotkan, akhirnya pilihan saya jatuh pada sebuah apron (saya perhatikan hampir semua pedagang di pasar memakai apron ini) yang disulam dengan benang warna-warni dengan motif yang khas Indian.



Dari Masaya kami meneruskan perjalanan ke Granada yang merupakan kota kolonial tertua di Nikaragua yang dibangun pada tahun 1524. Terletak dipinggir danau Nikaragua dan dekat gunung api Mombacho. Tiga kota terbesar di negara ini, Managua, Masaya dan Granada dibangun di atas `bayang-bayang` gunung berapi (ada 9 gunung api) yang sampai saat ini masih aktif.
Granada sangat romantik, dengan bangunan-bangunan klasiknya yang penuh warna. Pusat kegiatannya berada di Parque Central/Parque Colon, di sekitar tempat ini terdapat Parroqui Inmaculada Concepcion de Marcia Catedral de Granada yang megah dan Casa de los Tres Mundos- Pusat kebudayaan di Granada-.
Diiringi langit yang mendung, dengan naik kereta kuda - mirip andong di Yogya- kami berkeliling kota menyusuri jalan utama La Calzada dan Xalteva sambil mengagumi keindahan arsitektur rumah-rumah bergaya neo-klasik dan baroq yang berwarna terakota.
Kalau diamati hampir semua rumah di sini mempunyai kursi goyang, uniknya mereka tidak hanya punya satu bahkan empat kursi goyang yang diletakkan di teras atau ruang tamu!
Mereka tampaknya amat suka `mencari angin` dan mengobrol diteras rumah sambil duduk di kursi goyang. Sayang, saya lupa untuk bertanya lebih jauh tentang gaya hidup mereka ini kepada Omar, pemandu kami.
Selagi kami asyik ber`andong ria` tiba-tiba hujan turun sangat deras, memaksa kami untuk berteduh sambil mampir untuk makan malam di La Gran Francia Restaurant, restoran masakan Perancis dengan sentuhan Nikaragua, salah satu bangunan peninggalan kolonial Spanyol (dibangun tahun 1524) yang telah direkonstruksi.
Besok pagi, satu perjalanan lagi menanti kami,tak sabar rasanya untuk melihat peninggalan suku Maya di Guatemala!.

(Pernah dimuat di Kompas Cyber Media)

Guatemala, The Highland Wonderland

Kami sekeluarga di Tikal Temple. Bayangkan betapa besar dan tingginya candi ini.....

Guatemala, tujuan perjalanan kami selanjutnya setelah Nikaragua. Bayangan kami, keadaan negara Guatemala tidak jauh berbeda dengan Nikaragua. Ternyata dugaan kami meleset... Dari atas pesawat TACA Airlines yang membawa kami dari Managua, ibukota Nikaragua, pemandangan yang sangat indah ada di depan mata. Kotanya yang berkontur, berundak-undak, apalagi saat itu menjelang sore hari, sebagian kota sudah dihiasi kerlap-kerlip lampu, indah sekali...

Dengan penduduk kurang lebih 2 juta jiwa, Guatemala City merupakan kota modern, di waktu malam kita akan menemui kehidupan malam yang `hidup` tidak ubahnya seperti kota-kota besar lainnya.
Dalam perjalanan dari bandara La Aurora International Airport menuju hotel kami melewati pusat keramaian kota, kebetulan saat itu hari sabtu malam, banyak muda-mudi yang bergerombol, bercanda, tertawa di depan kafe-kafe. Mereka kelihatan moden, yang perempuan rata-rata berwajah cantik dengan pakaian yang seksi ala Amerika. Menurut pemandu kami mereka umumnya berasal dari suku Mestizo atau disebut juga Ladinoz, perpaduan Ameridian (Amerika-Indian) dan Spanyol. Lalu lintas pun sangat ramai, apalagi sebagian dari mereka menghidupkan musik dan membunyikan klakson kencang-kencang...
Sesampai di hotel Mariott, saya sempatkan mengambil brosur mengenai profil negara ini. Guatemala, dengan ibu kota Guatemala City berada di Laut Karibia terletak di antara Honduras dan Belize serta antara El Salvador dan Mexico di Samudra Pasifik. Guatemala berasal dari kata Cuauhtemallan yang berarti daerah dengan banyak pepohonan. Guatemala City sebelumnya, sekitar 9000 tahun yang lalu adalah kota suku Maya kuno yang bernama Kaminaljuyu.

Kota modern Guatemala City berpenduduk lebih kurang 11,4 juta jiwa dengan bahasa Spanyol dan Inggris sebagai bahasa sehari-hari disamping terdapat 23 jenis bahasa Mayan. Mata uang yang dipakai adalah Quetzal (1 US$ = 8 Qzl), tetapi mereka menerima apabila kita bertransaksi menggunakan dolar Amerika. Quetzal, selain dipakai sebagai nama mata uang resmi juga merupakan nama burung nasional Guatemala.

Esok harinya, kami sempatkan untuk melihat-lihat pusat kota. Kota ini dibagi dalam 25 zona, yang terkenal antara lain Villa Nueva dan Santa Catarina yang berkembang menjadi daerah pemukiman. Jantung/pusat kotanya terdapat di Zona Viva (The Lively Zone), di mana semua kegiatan bisnis dan hiburan berlangsung. Di daerah ini terdapat deretan restoran, dari steak, Italian hingga Mexican.
Sedangkan di Zona I, atau disebut juga Centro Historico terdapat National Palace, Metropolitan Catedral, National Congress, Presidential House dan Miguel Asturias Cultural Center.
Metropolitan Catedral mempunyai menara kembar yang dibangun tahun 1815 dengan arsitektur neo-klasik. Katedral ini tetap berdiri kokoh walaupun 3 kali gempa melanda kota ini di tahun 1830, 1917 dan 1976.
Tujuan kami selanjutnya adalah mengunjungi National Palace. Bangunan ini terkesan megah dan indah dengan perpaduan arsitektur Renaissance, neo-klasik dan Baroq. Menurut brosur yang saya baca, seluruh lantainya (+/- 8.890 sq m) dilapisi dengan granit. Gedung ini dibangun antara tahun 1928 - 1943, saat ini dibuka setiap hari untuk umum dan merupakan tujuan wisata paling populer.
Ada 2 tempat tempat yang `harus` dikunjungi ditempat ini, La Sala de Recepcion (The Reception Hall) dan Presidential Balcony.

Apabila mengunjungi suatu negara belum afdol rasanya apabila belum belanja souvenir. Di Central Market yang merupakan pusat kerajinan Guatemala saya membeli hiasan berupa topeng suku Maya yang dilapisi kulit kerang. Suami tertarik membeli patung laki-laki suku Maya yang sedang menggendong perempuan, dibawah kaki laki-laki tersebut tergeletak seekor burung. Setelah kami amat-amati mirip dengan cerita Ramayana. Entah apa hubungannya cerita dalam patung tersebut dengan cerita Ramayana....

Malam hari kami makan malam di Hacienda Real, mencoba steak Guatemala diiringi petikan gitar dua orang pria yang menyanyikan lagu-lagu berbahasa Spanyol. Romantis. Di Guatemala City banyak ditemukan restoran-restoran yang enak dan khas. Salah satunya adalah Jake`s yang terkenal dengan menu telur penyu yang dimasak dengan saus marinara dan Tres Leches (Three Milk), puding pie yang dibuat dari campuran 3 macam susu. Guatemala juga terkenal dengan ayam gorengnya yang gurih dan kering nyaris tanpa lemak, Pollo Campero.

Tikal Mitha di depan Tikal Airline

Dengan perut kenyang kami kembali ke hotel untuk istirahat sebentar karena besok pagi-pagi sekali kami harus bangun. Jam 5 pagi kami harus sudah berkumpul di lobi hotel untuk berangkat ke airport menuju Tikal.
Hanya 60 menit dengan pesawat udara (Tikal Airlines) dari Guatemala, kami sampai di Flores ibukota Tikal. Bandaranya mirip dengan bandara Adi Soemarmo di Solo, cuma bedanya di lobi dipenuhi oleh stand-stand agen perjalanan yang menawarkan wisata ke Tikal.
Di bandara sudah menunggu pemandu kami, Luis yang akan memandu kami selama 1/2 hari ini menjelajah Tikal. Dengan bis mini selama +/-1 jam kami pun tiba di El Peten Jungle di Tikal yang dinyatakan sebagai Taman Nasional Tikal, di mana tersebar kuil-kuil peninggalan suku Indian Maya.
Tikal adalah peninggalan Suku Indian Maya yang paling menarik dan menakjubkan di Amerika Tengah. Kehidupan suku Maya berlangsung antara 800 SM - tahun 900 M dengan populasi 100.000 orang. Raja I suku Maya adalah King Yax Moch Xoc.
Ekspedisi menggali kebudayaan Maya pertama kali dilakukan oleh Modezto Mendez dan Ambrosio Tut di tahun 1848. Saat ini Tikal masih di bawah penelitian Universitas Pennsylvania. Peninggalan kuno ini tersebar di +/- 220 sq mil di hutan Peten sampai di Belize yang juga di huni oleh kera, burung-burung tropis, kalkun, kucing hutan, ular, rakun serta pohon-pohon yang berumur sangat tua.
Kami jadi paham sekarang, mengapa Luis meminta kami untuk memakai baju dan sepatu keds yang nyaman. Ternyata kami diajak berjalan kaki membelah hutan Peten dengan menyusuri jalan setapak dan mengunjungi kuil-kuil suku Maya yang tersebar di hutan Peten ini!.
Luis menunjukkan kepada kami pohon langka yang berumur sangat tua, Ceiba Tree, cabang-cabangnya berbentuk seperti laba-laba daunnya nyaris gundul, yang dinyatakan sebagai pohon nasional Guatemala, juga Chicocapote (chewing gum tree) dan Amate Tree yang dipakai suku Maya sebagai pengganti kertas.

Disepanjang perjalanan menuju kuil Maya kami sesekali bertemu dengan tupai, rakun dan monyet yang bebas berkeliaran. Saya berdoa dalam hati jangan sampai kami bertemu dengan ular.... Diperkirakan ada 3000 kuil/monumen batu Maya yang tersebar di seluruh hutan Peten, sampai saat ini baru sekitar 200 monumen yang ditemukan dan digali.
Jika kita ingin benar-benar menjelajah seluruh peninggalan Maya maka diperlukan paling tidak waktu 2 hari. Karena kami hanya 1/2 hari di Tikal maka hanya sebagian kuil Maya yang bisa kami kunjungi. Dengan berjalan kaki sejauh 6 kilometer dibantu Luis, kami menjelajah hutan Peten seakan menembus waktu mengunjungi kuil-kuil suku Maya.

Kuil-kuil Maya dibangun dari batu kapur yang disusun berbentuk piramid. beberapa diantaranya berwarna merah. Antara satu kuil dengan lainnya jaraknya berjauhan. Di beberapa kuil masih tersisa potongan-potongan balok kayu asli yang sangat tua. Luis melarang kami memegangnya karena keringat kita dapat ikut merusak kayu tersebut.
Kuil pertama yang kami kunjungi adalah The Twin Pyramid di kompleks Q yang terletak di dekat `pintu masuk` hutan Peten. Selanjutnya adalah The Great Plaza yang merupakan plaza utama.. Di sini tersebar beberapa kuil diantaranya Temple of Giant jaguar (Temple I), Temple of the Mask (Temple II) yang dibangun oleh Ah Cacao/King Chocolate di tahun 682-734 SM serta Temple of the Jaguar Priest. Di kompleks ini terdapat singgasana dan kamar pemimpin suku Maya yang semuanya terbuat dari batu. Saya sempatkan untuk duduk dan berpose sejenak di singgasana ini. Singgasana batu ini cukup besar dengan undakan tangga yang besar dan lebar.

Di Plaza of the Lost Word yang dibangun tahun 500 SM kami dibuat takjub. Di sini terdapat bangunan kuno yang mereka pakai sebagai penunjuk kalender. Betapa mereka jaman dahulu sudah dapat memperhitungkan musim berdasarkan peredaran bulan dan bintang. Menakjubkan!
Di North Acropolis, dibangun sekitar tahun 800 SM) terdapat makam suku Maya, di dalamnya tersimpan kerangka, gerabah dan hiasan dari batu jade hijau.

Setelah +/- 3 jam berjalan kaki `menembus waktu` di hutan Peten, Luis membawa kami singgah di restoran, tepatnya warung makan yang terbuat dari kayu (masih di lokasi taman nasional hutan Tikal) untuk makan siang. Menu ayam panggang, sup labu dan nasi gurih yang konon makanan khas suku Maya kami santap dengan lahap, rasanya lezat sekali. Konon pula, Luis maupun pemilik restoran tersebut merupakan keturunan suku Maya, dengan ciri khas bentuk hidungnya yang `tinggi` dan bentuk tubuh yang agak pendek.
Perjalanan ini diakhiri dengan mengunjungi pasar seni yang terletak di pintu masuk taman naional Tikal, berbagai macam barang kerajinan khas Guatemala di jual di sini. Kain-kain dengan motif dan warna-warna terang, sulaman motif Indian Maya, aksesoris dan lain-lain, tetapi harganya relatif lebih mahal di banding di Guatemala City.

Sebelum kembali dengan Tikal Airline ke Guatemala City pukul 17.30, Luis masih sempat mengajak kami menengok sejenak kota Flores. Flores seakan akan terletak di tengah danau Peten Itza. Jalannya berkelok-kelok, sempit dan agak berdebu. Dengan menyewa Launcha (perahu kayu) turis dapat mengunjungi kebun binatang yang ada di pulau Petencito, pulau kecil di danau Peten Itza.
Memasuki bandara Flores kami disambut alunan Marimba - instrument khas Guatemala yang terbuat dari kayu, mirip dengan Kolintang - seolah-olah mengucapkan selamat tinggal dan berharap suatu saat kami kembali.

Tak terasa perjalanan menembus waktu di Nikaragua dan Guatemala berlalu, dengan pesawat TACA airlines yang akan transit di San Salvador, El Salvador kami kembali ke New York. Kembali dengan rutinitas keseharian kami....

(Pernah dimuat di Kompas Cyber Media)

BAHAMAS, Paradise Island

Di depan Booth Indonesia, Rini (no. 4 dari kiri),
bersama tim Indonesia yang dipimpin Duta Besar LBBP Bp. Rezlan Ishar Jenie (berdiri ditengah).

Bulan Oktober 2006 lalu selama 4 hari , saya berkesempatan mengunjungi Bahamas. Bersama rombongan dari Staf PTRI New York dan 3 rekan dari DWP PTRI New York (Ny. Veni Cassidy, Ny. Ismi Rachmianto, Ny. Neny Subarnas dan saya) ikut berpartisipasi dalam “The IX International Food and Cultural Week” yang berlangsung pada tanggal 21 – 22 Oktober 2006 di Botanical Garden, Nassau – Bahamas. Rombongan kecil kami dipimpin langsung oleh WATAPRI New York saat itu, Bapak Rezlan Ishar Jenie. Keikutsertaan Indonesia kali ini bertujuan untuk lebih mempromosikan dan mengenalkan kebudayaan, turisme dan produk-produk Indonesia. Tak heran jika “booth” Indonesia sarat dengan kerajinan Indonesia (terutama batik), makanan Indonesia (sate, nasi goreng, mie goreng, dan lain-lain) serta pamflet promosi pariwisata Indonesia yang selalu ramai diserbu pengunjung. Tampilan 'booth' Indonesia ini di disain dan dirancang oleh Mitha Hariyanta.
Mitha sedang melukis disain booth Indonesia

Indonesia juga menampilkan dua tarian dari daerah Bali yang ditarikan oleh dua Penari dari grup Gamelan Bali Dharma Swara. Kali ini, mengulang sukses dua tahun sebelumnya, “booth” Indonesia menjadi juara I Booth Asia dan juara II umum. Prestasi yang cukup membanggakan karena acara ini diikuti oleh 36 negara dari 5 benua dan 89 perusahaan dan instansi di Bahamas.

Disela-sela sibuknya mempersiapkan kegiatan tersebut saya berkesempatan melongok lebih jauh kota Nassau di Bahamas yang mendapat julukan Paradise Island.
Bahamas – dari kata baja mar dalam bahasa Spanyol yang berarti shallow seas atau ba-ha-ma dalam bahasa Lucayan (penduduk asli Bahamas) yang berarti large upper middle land-, merupakan negara Commonwealth yang beribukota di Nassau. Negara yang berpenduduk sekitar 350.000 jiwa ini mempunyai pulau – pulau kecil yang berpasir putih, yang terkenal di antaranya adalah Cat Island, Crocked Island dan Harbour Island serta terletak di Samudra Atlantik, berbatasan dengan Amerika Serikat, Cuba dan Karibia.

Terkenal dengan keindahan pantainya dan letaknya yang tidak terlalu jauh dari Amerika maka banyak warga negara Amerika yang tinggal atau mempunyai villa di Bahamas. Konon apabila musim dingin di Amerika tiba banyak warganya yang ‘mengungsi’ ke Bahamas. Masih ingat mendiang Ann Nicole Smith? Ia-pun mempunyai villa mewah di Nassau. Tak heran, karena lebih dari 300 hari setahun, negara tropis ini pada siang hari disinari matahari yang cerah dengan tiupan air laut yang sejuk. Sayang, hampir setiap tahun diterpa hurricane/badai yang cukup dasyat.

Beruntung, kami menginap di Sun Rise Beach Club yang berada di pinggir pantai. Dari balkon kami bisa melihat wisatawan yang sedang berjemur di pantai, berenang, menyelam, memacu boat-nya di laut, parasailing atau sekedar berjalan-jalan dipinggir pantai seperti yang saya lakukan. Pantainya sangat bersih dengan pasirnya yang putih dan air laut yang biru jernih.

Saya sempatkan pula singgah di Atlantis Hotel, yang diilhami dari kata Atlantis – benua yang hilang-. Hotel ini sangat besar dan luas, dari kejauhan bentuk gedungnya melengkung dengan dihiasi menara-menara seperti puri dan dikelilingi oleh Paradise Beach dan Atlantis Beach serta danau-danau buatan yang sangat indah, antara lain Paradise Lagoon yang dihuni ikan-ikan kecil dengan warna-warna yang cantik, Stingray Lagoon yang dihuni ikan pari jenis Spotted Eagle Ray, Hibiscus Lagoon yang dihuni kura-kura Bahamas serta Mayan Temple Lagoon yang dihuni ikan-ikan hiu jenis Carribean Reef, Silky Sharks dan Nurse Sharks. Indah sekali!. Di dalam Atlantis hotel tersedia pula obyek wisata menarik, di lantai bawah, di Great Hall of Waters terdapat akuarium besar yang dihiasi oleh berbagai jenis ikan air laut seperti Snapper, Ubur-ubur, Lobster dan lain-lain. Di luar hotel tersedia pula surga permainan air untuk anak-anak, Aquaventure, yang dibangun sangat modern serta Dolphin Cay, apabila beruntung di sini kita dapat menyaksikan saat lumba-lumba tersebut diberi makan.

Di Paradise Island Casino yang sangat luas, masih di dalam hotel Atlantis, tersebar ratusan slot aneka mesin kasino. Suasananya sangat ramai, suara pekikan dan teriakan gembira pengunjung berbaur dengan suara nyaring mesin kasino, lentingan koin dan aroma Kalik Beer (bir Bahamas) menambah meriah suasana, mengingatkan kami pada suasana di Las Vegas. Bagi yang senang mencoba aneka makanan enak, Atlantis Hotel salah satu tempatnya karena di sini terdapat Nobu, restoran Jepang yang terkenal enak, dan Mesa Grill, restoran milik Chef Bobby Flay yang terkenal di televisi Food Channel.

Berjalan dibelakang hotel menyusuri Atlantis Marina yang dipenuhi deretan kapal-kapal layar , berjejer deretan restoran dari Carmine’s Italian Restaurant hingga Burger Johny Rocket dan toko-toko dari Versace hingga Dooney & Bourke serta stand-stand cinderamata di kompleks Marina Village. Kami putuskan untuk mencoba Bahamian Conch (daging dari kerang besar) di Bimini Restaurant, saya memesan Conch salad, irisan daging conch yang dicampur irisan mangga, jagung manis dan selada yang segar rasanya, sepiring ikan mahi-mahi bakar serta segelas virgin pinacolada. Di teras restoran, satu grup band memainkan lagu-lagu Latin mengiringi pengunjung menikmati makanan.

Siang hari, dengan menyewa satu mobil mini van, kami menyusuri jalan-jalan di Nassau yang tidak terlalu lebar, banyak tikungan dan agak berdebu. Bangunan-bangunan bersejarah di kota ini, seperti Christ Church Cathedral, Parliament Square dan Government House merupakan perpaduan arsitektur Spanyol dan Inggris. Tak heran karena jaman dahulu penduduk asli Bahamas, Lucayan, pernah mengadakan kontak dengan bangsa Spanyol saat Christopher Columbus singgah di daerah tersebut hingga kemudian sekitar tahun 1700-an Inggris datang di kepulauan Bahamas hingga Bahamas menjadi bagian Negara Commonwealth Inggris.

Ingat pesan seorang teman, bila berkunjung ke Bahamas belum afdol kalau belum mencicipi Rum Cake-nya selanjutnya kami singgah di toko souvenir di Bay Street. Selain Rum Cake dan barang-barang kerajinan khas Bahamas yang terbuat dari kulit kerang di sini juga dijual aneka baju dan kain lilit/kain pantai dengan warna-warna yang cerah. Ternyata baju-baju dan kain-kain tersebut sebagian besar buatan Indonesia!. Di toko ini ada beberapa jenis Rum Cake yang dijual, Original Bacardi Rum Cake, Chocolate Rum Cake, Coconut Rum Cake dan Vanilla Rum Cake. Setelah mencicipi beberapa potong irisan contoh rasa kue tersebut saya putuskan membeli dua kaleng sedang Chocolate Rum Cake.

Sayang kami tidak bisa melihat dan menikmati Junkanoo, musik dan tari tradisional Bahamas yang biasanya tampil dan berparade disepanjang Bay Street memeriahkan hari kemerdekaan Bahamas di bulan Juli.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, empat hari sudah kami di Bahamas, negara dengan pantai-pantainya yang cantik….

(Pernah dimuat di Kompas Cyber Media)